Perdagangan Global Harus Terbuka dan Dapat Diprediksi

Sambutan Deputi I Direktur Pelaksana IMF, Gita Gopinath pada sidang IMF & WBG dan WTO tgl 25 Okt 2023

Pertumbuhan perdagangan dunia secara historis rendah dan belum ada tanda-tanda perbaikan. Bahkan diperkirakan akan menurun dari 5,1 persen pada tahun 2022 menjadi 0,9 persen pada tahun 2023. Sementara itu, sistem perdagangan global menghadapi beberapa tantangan: mulai dari ketegangan dan fragmentasi geopolitik, kebijakan industri, hingga perubahan iklim. Selagi kita bersiap untuk membahas tantangan-tantangan ini selama dua hari ke depan, izinkan saya menguraikan apa yang kami lihat di IMF dalam lanskap perdagangan global dan bagaimana komunitas internasional dapat bekerja sama menuju solusinya.

Kebijakan Perdagangan dan Meningkatnya Hambatan Perdagangan

Lemahnya pertumbuhan perdagangan global kemungkinan besar tidak hanya mencerminkan permintaan global, namun juga meningkatnya ketidakpastian kebijakan perdagangan dan meningkatnya hambatan perdagangan. Tahun lalu hampir 3.000 pembatasan perdagangan diberlakukan—hampir 3 kali lipat jumlah yang diberlakukan pada tahun 2019. Selain itu, investasi asing langsung kini semakin didorong oleh preferensi geopolitik dibandingkan fundamental bisnis.

Hal ini menunjukkan adanya pergeseran ke arah kebijakan yang berorientasi ke dalam dan aliansi (inward- and alliance-oriented policies), yang seringkali tidak efektif. Misalnya saja, studi baru-baru ini yang dilakukan oleh para ekonom IMF dan Bank Dunia menunjukkan bahwa impor barang-barang Tiongkok dari Amerika Serikat yang dikenakan tarif pada tahun 2018-2019 sebagian besar telah digantikan oleh ekspor dari Vietnam dan Meksiko yang berasal dari perusahaan-perusahaan yang terkait erat dengan rantai pasokan Tiongkok

Peningkatan Kebijakan Bidang Industri

Tentu saja, peningkatan intervensi pemerintah terkait erat dengan kebangkitan kebijakan industri. Pada tahun 2023 saja, jumlah langkah kebijakan industri meningkat hampir enam kali lipat. Sebagian besar peningkatan tersebut didorong oleh negara-negara maju, dan sebagian besar didorong oleh daya saing strategis, iklim, atau tujuan keamanan nasional.

Negara-negara berkembang juga telah meningkatkan penggunaan kebijakan industri, meskipun mereka tidak terlalu bergantung pada subsidi dan lebih banyak bergantung pada pembatasan perdagangan seperti tarif dan kontrol ekspor.

Meskipun kebijakan industri dapat membantu mengatasi kegagalan pasar, kebijakan tersebut secara historis memakan banyak biaya dan sering kali gagal.

Banyak dari kebijakan ini mempunyai komponen kebijakan perdagangan yang eksplisit. Meskipun tidak ada ciri-ciri diskriminatif, kebijakan industri masih dapat mendistorsi pola perdagangan dan penanaman modal asing, menciptakan dampak negatif, dan menimbulkan risiko pembalasan.

Menurut sebuah penelitian, ketika AS, Tiongkok, atau Uni Eropa menerapkan kebijakan subsidi, ada kemungkinan 73% bahwa salah satu negara lain akan membalas dalam waktu 12 bulan.

Permasalahan desain dan langkah-langkah praktis diperlukan untuk mendorong perspektif yang lebih umum di seluruh pemerintahan mengenai penggunaan kebijakan industri.

Fragmentasi

Jika tren ini tidak dibalik, risikonya bisa sangat besar.

Penelitian yang dilakukan oleh IMF, WTO, dan lembaga lainnya menunjukkan bahwa fragmentasi dapat berdampak besar terhadap perekonomian dunia, merugikan hingga 7 persen PDB dan mungkin lebih besar lagi bagi negara-negara tertentu. Penelitian IMF terbaru yang mengamati secara khusus dampak fragmentasi terhadap komoditas menunjukkan bahwa dampaknya masih cukup besar. Negara-negara berpendapatan rendah dapat menghadapi kerugian PDB jangka panjang rata-rata sebesar 1,2 persen, yang sebagian besar disebabkan oleh gangguan terhadap ekspor pertanian. Bagi beberapa negara, terutama negara yang bergantung pada komoditas, kerugian bisa melebihi 2 persen.

Selain memperburuk permasalahan ketahanan pangan, fragmentasi juga dapat menghambat transisi ramah lingkungan secara global, karena beberapa mineral langka yang penting sangat terkonsentrasi. Faktanya, tiga pemasok mineral terbesar rata-rata menyumbang sekitar 70 persen produksi global. Ketika kerja sama global yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk melawan perubahan iklim sangat dibutuhkan, fragmentasi mengancam akan menggagalkan upaya kita

Solusi

Lalu, bagaimana kita bisa bergerak maju di tengah tantangan-tantangan ini? Dan bagaimana kebijakan perdagangan dapat membantu?

Pertama, kita harus menjamin masa depan dengan mendorong keterbukaan dan prediktabilitas perdagangan, melalui kerja sama dengan mitra kita di Bank Dunia dan WTO.

Hal ini termasuk mengatasi permasalahan yang sudah berlangsung lama seperti subsidi dan tarif melalui penguatan aturan perdagangan. Hal ini juga mencakup mengamankan pasar terbuka di bidang ekonomi global modern, seperti jasa dan e-commerce. Dan kami menantikan kemajuan menuju pemulihan sistem penyelesaian perselisihan.

Kedua, kita perlu membangun rantai pasokan (supply chains) yang tahan terhadap guncangan perdagangan (trade shocks). Untuk melakukan hal tersebut, negara-negara harus menerapkan praktik-praktik terbaik seperti diversifikasi sumber input yang lebih besar di seluruh negara; peningkatan infrastruktur, logistik dan sistem informasi; dan mengurangi biaya perdagangan.

Ketiga, kita perlu lebih memahami dampak tindakan sepihak suatu negara. Dan kita perlu melakukan diskusi dan kerja sama yang jernih untuk mengurangi dampak buruknya.

Upaya yang lebih besar untuk mendorong transparansi, analisis, dan dialog mengenai bidang-bidang penting seperti subsidi dan kebijakan industri lainnya akan sangat membantu dalam mengurangi ketegangan. Oleh karena itu, tahun ini IMF, OECD, Bank Dunia, dan WTO meluncurkan Platform Subsidi Bersama (the Joint Subsidy Platform). Portal data ini tidak hanya memberikan negara-negara akses terhadap informasi mengenai sifat, besaran, dan dampak ekonomi dari subsidi, namun juga dirancang untuk memfasilitasi dialog mengenai penggunaan dan desain subsidi yang tepat.

Kesimpulan

Saya sangat berharap bahwa ide-ide yang dibagikan hari ini dapat berkontribusi pada agenda penting ini. Konferensi ini merupakan bukti atas apa yang dapat dicapai bersama oleh lembaga-lembaga kita, dan cara kita dapat membentuk perdebatan kebijakan global mengenai isu-isu penting dalam perekonomian global

Terima kasih

Note:

Gita Gopinath (born 8 December 1971) is an Indian-American economist who has served as the first deputy managing director of the International Monetary Fund (IMF), since 21 January 2022. She had previously served as chief economist of the IMF between 2019 and 2022. Prior to joining the IMF, Gopinath had a two-decade-long career as an academic including at the economics department of Harvard University where she was the John Zwaanstra Professor of International Studies and Economics (2005–2022) and earlier an assistant professor at the University of Chicago Booth School of Business (2001–05). She is also a co-director of the international finance and macroeconomics program at the National Bureau of Economic Research and has earlier worked as the honorary economic adviser to the chief minister of Kerala

Terjemahan bebas oleh gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *