Indonesia menjadi negara ASEAN pertama yang diterima daripada OECD dan kedua, negara Asia ketiga setelah Jepang dan Korea. Sebelum bisa menjadi anggota penuh OECD harus melalui tahap aksesi, untuk itu OECD membentuk working group dalam menilai Indonesia menjadi anggota OECD. Basis penilaian yang harus dipenuhi adalah “like-mindedness”, “signiIficant player”, “mutual benefit” and “global considerations.”
Dibawah ini diuraikan prinsip2 yang harus dipenuhi anggota OECD yaitu terciptanya prinsip-prinsip good corporate governance yang dipergunakan sebagai bahan acuan internasional (international benchmark) bagi para pemerintah, investor, perusahaan dan para stakeholders perusahaan (termasuk pemegang saham),
Sepuluh prinsip good corporate governance yang mereka sebut the Principles of Good Corporate Governance and Best Practice Recommendations.
Prinsip-prinsip corporate governance yang diterbitkan OECD ini mencakup hal-hal yang berikut: 1. Landasan hukum yang diperlukan untuk menjamin penerapan good corporate governance secara efektif (ensuring the basis for an effective corporate governance framework) 2. Hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan (the rights of shareholders and key ownership functions) 3. Perlakuan yang adil terhadap para pemegang saham (the equitable treatment of shareholders) 4. Peranan the stakeholders dalam corporate governance (the role of stakeholders in corporate governance) 5. Prinsip pengungkapan informasi perusahaan secara transparan (disclosure and transparency), dan 6. Tanggung jawab Dewan Pengurus (the responsibilities of the Board).
Struktur kepemilikan.
Dalam artikelnya Managing Corporate Governance in Asia, Washington Sycip, pendiri SGV & Co (perusahaan akuntan publik), Philippines mengutarakan salah satu faktor intern perusahaan yang mempengaruhi penerapan prinsip-prinsip good corporate governance adalah struktur kepemilikan dan sumber dana operasi perusahaan. Sycip mengutarakan ada perbedaan signifikan dalam struktur kepemilikan perusahaan di negara-negara industri maju dan negara-negara berkembang.
Perbedaan struktur kepemilikan perusahaan tadi menurut beliau menjadi salah satu penyebab mengapa fokus good corporate governance di negeri industri maju agak berbeda dengan negara-negara berkembang. Sebagai salah satu contoh, fokus utama good corporate governance di negara industri maju seperti Amerika Serikat dan lnggris adalah perlindungan hak dan kepentingan pemegang saham, terutama pemegang saham atau investor institusional. Sedangkan fokus good corporate governance di kebanyakan negara berkembang adalah perlindungan hak dan kepentingan para pemegang saham dan anggauta the stakeholders non-pemegang saham.
Struktur kepemilikan perusahaan di negara maju.
Menurut Sycip di kebanyakan negara industri maju seperti Inggris, Amerika, Australia, Jerman, dan Perancis mayoritas perusahaan besar dan menengah berstatus perusahaan publik. Sebagian besar pemegang saham perusahaan-publik adalah masyarakat. Separuh dari penduduk usia dewasa di Australia misalnya, memiliki saham- saham perusahaan publik. Di negara industri maju pasar modal menjadi sumber utama pendanaan operasi jangka menengah perusahaan. Sebagai contoh sekitar 70-80% saham perusahaan-perusahaan besar di Amerika dimiliki pemegang saham institusional. Investor orang perorangan menanamkan dananya melalui investor institusional seperti dana pensiun, mutual funds atau perusahaan reksa dana. Oleh karena itu di negara-negara tersebut para pemegang saham mengumandangkan suara yang lantang agar perusahaan-perusahaan publik menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance secara konsekwen, termasuk melakukan evaluasi kinerja Board of Directors secara periodik. Tujuan menyarankan perusahaan menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance tersebut adalah untuk melindungi hak dan kepentingan para pemegang saham.
Struktur kepemilikan perusahaan di Asia.
Di lain pihak; kepemilikan kebanyakan perusahaan swasta menengah dan besar di Asia, termasuk perusahaan publik didominasi oleh keluarga atau kelompok keluarga. Sedangkan dalam kasus 6 perusahaan berstatus perusahaan negara, kepemilikan perusahaan didominasi oleh negara.
Krisis Ekonomi Asia 1997
Pada tahun 1999 Asian Development Bank (ADB) mengadakan survai tentang kelemahan penerapan corporate governance and finance di negara-negara Asia yang ekonominya paling parah terkena imbas krisis moneter tahun 1997.
Negara-negara tersebut adalah Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Philippines dan Thailand. Hasil survai tersebut diterbitkan dalam buku berjudul Corporate Governance and Finance in East Asia, diedit oleh Juzhong Zhuang, David Edward dan Virginita Capulong. Dalam survai tadi antara lain ditemukan salah satu ciri khusus struktur kepemilikan dan kepengurusan perusahaan-perusahaan di kelima negara di atas. Ciri khusus tersebut adalah adanya konsentrasi kepemilikan perusahaan pada keluarga atau kelompok keluarga, bahkan pada perusahaan publik (milik pemerintah) sekalipun. Oleh karena menjadi pemegang saham mayoritas perusahaan, mereka dapat melindungi hak dan kepentingannya sendiri.
Indonesia; Menurut hasil survai ADB di Indonesia perusahaan-perusahaan besar swasta yang kepemilikannya didominasi keluarga atau kelompok keluarga disebut perusahaan konglomerat. Jumlah konglomerat terkemuka di Indonesia pada akhir dekade 1990an sekitar 300 perusahaan. Pada tahun 1997 kelompok konglomerat itu memiliki 9.766 perusahaan swasta. Jumlah harta perusahaan yang mereka kuasai pada tahun itu berkisar sekitar Rp 234 trilyun. Hingga krisis moneter tahun 1997 Indonesia memiliki 165 perusahaan negara yang bergerak di berbagai sektor ekonomi. Disamping itu terdapat 459 anak perusahaan dan afiliasi perusahaan negara. Jumlah harta perusahaan yang dimiliki anak perusahaan dan afiliasi perusahaan negara pada tahun 1995 sekitar Rp 343 trilyun. Pemegang saham mayoritas perusahaan-perusahaan negara adalah negara. Seperti halnya perusahaan swasta, perusahaan negara juga mengandalkan sumber dana luar perusahaan dari sektor perbankan. Menurut hasil survai ADB rata-rata debt to equity ratio perusahaan negara sebelum krisis moneter tahun 1997 berkisar sekitar 21/2 berbanding 1. Dengan struktur kepemilikan saham dan sumber dana perusahaan seperti itu, hingga akhir dekade 1990an dapat dikatakan perhatian masyarakat bisnis Indonesia terhadap prinsip-prinsip corporate governance belum sehangat masyarakat bisnis di negara-negara maju. Sebagai contoh masih banyak anggauta Dewan Komisaris (Board of Directors) bersikap pasif terhadap upaya memonitor perkembangan usaha bisnis perusahaan mereka. Para pemegang saham kebanyakan perusahaanpun belum bersuara Iantang menuntut diselenggarakannya reformasi corporate governance, seperti halnya di Amerika Serikat dan Inggris pada masa paska kejatuhan perusahaan-perusahaan raksasa internasional.
Korea Selatan. Perusahaan-perusahaan besar swasta Korea Selatan disebut chaebol. Selama puluhan tahun chaebol telah menjadi motor perkembangan ekonomi Korea Selatan. Seperti halnya Indonesia salah satu ciri khusus chaebol adalah adanya konsentrasi kepemilikan saham pada keluarga atau kelompok keluarga tertentu. Orang-orang tertentu dari pemegang saham mayoritas dan keluarga mereka secara de facto menguasai manajemen perusahaan dan anakanak perusahaan. Dengan demikian keluarga mempunyai kekuasaan yang besar dalam mengarahkan, mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha bisnis perusahaan. Mereka yang mengatur corporate governance perusahaan dan anakanak perusahaannya. Dalam survai ADB ditemukan jumlah anak-anak perusahaan yang dimiliki 30 chaebol terbesar di Korea Selatan (termasuk Hyundai, Samsung, Daewoo, Sunkyung, Sangyong, Hanjin dan KIA) meningkat dari 604 pada awal tahun 1993 menjadi 669 di akhir tahun 1996.
Secara rata-rata anak perusahaan tiap chaebol pada awal tahun 1993 berjumlah 20 perusahaan. Jumlah rata-rata anak perusahaan tersebut meningkat menjadi 22 perusahaan pada akhir tahun 1996. Secara umum chaebol mempunyai kekuatan khusus yang timbul dari sinergi kerjasama perusahaan induk dan anak-anak perusahaannya. Termasuk dalam sinergi kerja sama tersebut adalah multi produk yang mereka hasilkan, keaneka ragaman sarana produksi dan skala ekonomi sarana produksi yang mereka miliki. Akan tetapi apabila ada satu atau dua anak perusahaan dalam kelompok chaebol gagal menjalankan usaha bisnisnya, dampak kegagalan itu dapat menimbulkan kesulitan bagi perusahaan induk dan seluruh anak perusahaan. Krisis ekonomi Asia tahun 1997 telah membawa imbas yang tidak menguntungkan bagi bisnis perusahaan-perusahaan chaebol. Jumlah hasil penjualan 11-30 chaebol papan atas pada tahun itu menurun sekitar dua persen. Kinerja keuangan ehaebol juga menurun. Hanya lima chaebol terbesar pada tahun 1997 memperoleh keuntungan, lainnya merugi atau impas. Secara rata-rata pada tahun 1997 return on equity 11-30 perusahaan-perusahaan ehaebol terbesar turun sampai minus 16%. Mayoritas perusahaan-perusahaan Korea yang memperdagangkan sebagian sahamnya di bursa-bursa efek juga didominasi perusahaan-perusahaan keluarga. Sebelum krisis moneter Asia tahun 1997 perusahaan publik Korea Selatan yang memperdagangkan sahamnya di bursa efek berjumlah 775, terdiri dari 551 perusahaan non-bank dan 224 lembaga keuangan.
Thailand; Kepemilikan perusahaan-perusahaan di Thailand juga terkonsentrir pada keluarga atau kelompok keluarga sendiri. demikian juga halnya dengan struktur kepemilikan perusahaan-perusahaan public yang memperdagangkan sahamnya di bursa efek Stock Exchange of Thailand (SET). Survai ADB menemukan antara tahun 1990-1998 secara rata-rata kelompok keluarga lima perusahaan papan teratas yang memperdagangkan sahamnya di SET memiliki 56.4% seluruh saham perusahaan-perusahaan public tersebut. Sudah barang tentu dalam setiap rapat umum pemegang saham perusahaan yang mereka sertai, kelima perusahaan di atas tetap mempunyai suara yang menentukan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting. Keluarga pendiri biasanya memegang jabatan-jabatan penting dalam manajemen perusahaan.
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com