Raden Ngabehi Rangga Warsita

Raden Ngabehi Rangga Warsita (14 Maret 1802–24 Desember 1873) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.

Nama aslinya adalah Bagus Burhan. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara, cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta.

Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya.

Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun.

Di Madiun uang sakunya habis. Ki Tanujoyo kemudian berdagang barang loakan. Sedangkan Bagus Burham tetap pada kegemarannya semula. Betapa bingungnya Raden Tumenggung Sastronegoro, kakek dari Bagus Burhan  tatkala mendapat laporan Kyai Imam Besari bahwa puteranya pergi dari Tegalsari.

Kemudian dipanggillah Ki Josono agar mencari Bagus Burham sampai ketemu. Bila ketemu agar diajak kembali ke Tegalsari. Kyai Imam Besari kembali dari Keraton Solo mendapat laporan dari penduduk Tegalsari bahwa sekarang daerah Tegalsari tidak aman. Banyak pencuri serta tanaman diserang hama. Kyai Imam Besari memohon petunjuk dari Tuhan. Mendapatkan ilham bahwa keadaan daerahnya akan kembali aman damai apabila Bagus Burham kembali ke Tegalsari lagi.

Karena itu Kyai Imam Besari segera mengutus ki Kromoleyo agar supaya berangkat mencari kemana gerangan perginya Bagus Burham. Bagi Ki Kromoleyo bukan pekerjaan yang sulit mencari Bagus Burham. Sebab dia tahu kehidupun macam apa yang digemari Bagus Burham. Tempat judi, tempat adu ayam. Itulah sasaran Ki Kromoleyo.

Karena bujukan Ki Josono utusan orang tuanya yang kebetulan juga sudah menemukan tempat Bagus Burham maka kembalilah ke Tegal Sari.

Kyai Imam Besari menghadapi Bagus Burham dengan cari lain. Sebab ternyata sekembalinya dari petualangannya Bagus Burham bukan semakin rajin mengaji tetapi semakin bodoh. Menghadapi murid yang demikian Kyai yang sudah berpengalaman itu lalu mengambil jalan lain. Bagus Burham tidak langsung diajar mengaji seperti santri-santri yang lain. Dia bukan keturunan orang biasa tetapi memiliki darah satriya. Maka tidak mengherankan kalau dia juga memiliki/mewarisi sifat-sifat leluhurnya. Gemar sekali kepada hal-hal yang memperlihatkan kejantanan seperti adu ayam dan lain sebagainya.

Disamping diberi pelajaran ngaji juga disuruh bertapa kungkum. Setelah menjalani tapa kungkum selama 40 hari lamanya maka Bagus Burham tumbuh menjadi anak yang pandai. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat “pencerahan” di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.

Ketika pulang ke Surakarta, Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819. Pada masa pemerintahan Pakubuwana V (1820 – 1823), karier Burhan tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burhan dinaikkan.

Pada tanggal 9 November 1821 Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Ditempat tersebut yang terkenal sebagai tempat bersejarah banyak peninggalan-peninggalan dari jaman terdahulu. Di Kediri pernah berdiri kerajaan besar dimana salah satu rajanya adalah Sang Prabu Joyoboyo. Waktu sang prabu berkuasa agaknya keadaan negara sangat tenteram dan damai terbukti lahirnya beberapa karya sastra besar. Setelah merasa jenuh Bagus Burhan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.

Baru setelah Bagus Burham berumur 38 tahun mulai produktif dengan karya sastranya. Dan pada tahun 1844 pihak keraton mengangkat menjadi Kliwon Carik dan disyahkan menjadi Pujangga Keraton. Namanya Raden Ngabehi Ronggowarsito dan semakin tenar. Kariernya tidak licin sebab agaknya juga dipengaruhi bahwa orang tuanya (Raden Tumenggung Sastronegoro) dianggap bersalah kepada kompeni Belanda sebab pernah merencanakan akan menggempur benteng Kompeni diwaku jaman pemberontakan Diponegoro (1825-1830). Akhirnya R.T. Sastronegoro disiksa  dibuang ke laut.

Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845. Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.

Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.

Pakubuwana IX naik takhta sejak tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukung Pangeran Diponegoro. Konon, sebelum menangkap Pakubuwana VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian. Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara.

Note: PB VI jenasahnya dipindahkan dari Ambon ke Makam Imogiri.

Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwana IX kurang menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain adalah putra Pajangswara.

Note: Jenasah PB VI dipindah dari Ambon dan dimakamkan di Imogiri

Hubungan Ranggawarsita dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.

Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.

Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Kasunanan Surakarta yang berpendapat kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.

Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan TrucukKabupaten Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.

Karya2 Besar Ronggowarsito:

Serat Kalatidha

Serat Kalatidha adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa berbentuk tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860. Kalatidha adalah salah satu karya sastra Jawa yang ternama. Bahkan sampai sekarang banyak orang Jawa terutama kalangan tua yang masih hafal paling tidak satu bait syair ini.

Paramayoga

Paramayoga merupakan karangan pendahulu dari Pustakaraja Purwa, sebuah karya prosa terbesar dari Ronggowarsito. Paramayoga adalah dongeng tentang asal usul manusia Jawa dan sejumlah fakta geografis di Nusantara. Sebagai sebuah dongeng tentu Paramayoga ini bersifat irasional dan mitis. Sinkretismenya yang sangat kuat secara paksa menyusun suatu garis silsilah dari Nabi Adam, dewa-dewa Hindu hingga dewa-dewa Nusantara tentulah memperkuat irasionalitas itu. Akan tetapi, sebuah mitos memiliki nalarnya sendiri, bagaimanapun kisah ini merupakan salah satu cara orang Jawa dalam menjelaskan dunia.

Serat Jayengbaya

Serat ini menceritakan tentang seorang tokoh bernama Jayengbaya yang ingin mencari kebahagiaan dalam kehidupannya dengan cara melaksanakan tugas sebaik-baiknya, dengan mencari jabatan tinggi, dan mengejar kedudukan yang terhormat. Dalam usaha ini, 47 macam cara kehidupan telah dicobanya, tetapi tidak ada satupun yang cocok baginya, karena masing-masing cara kehidupan tersebut selalu ada yang mengandung kekurangan-kekurangan dan tidak ada satu pun yang sempurna. Akhirnya, Jayengbaya memutuskan untuk kembali menekuni cara kehidupannya yang semula, karena hal itulah yang dianggap paling baik baginya.

Pustaka Rajapurwo

Walaupun sumber ceritanya kebanyakan berasal dari Mahabarata dan Ramayana dari India, tetapi beberapa isi detailnya telah diadaptasi untuk keadaan masyarakat Pulau Jawa. Beberapa modifikasi cerita ini misalnya mengenai Drupadi. Dalam Mahabarata versi asli India, ia adalah istri dari kelima bersaudara Pendawa, tetapi dalam Pustaka Raja Purwa ia hanya dinyatakan sebagai istri dari saudara tertua Pendawa yaitu Puntadewa (Yudistira). Hal ini untuk menghindari kemungkinan timbulnya konflik sosial, karena seorang wanita tidak bisa mempunyai lima orang suami. Hal ini penting karena masyarakat Jawa memandang cerita wayang dipakai sebagai petuah, contoh dan pedoman hidup kebanyakan masyarakat.

Judul lakon cerita dalam Pustaka Raja Purwa ini paling sedikit berjumlah 177 lakon/lampahan

Serat Cemporet

Serat Cemporet lebih terkenal lantaran digubah memakai bahasa Jawa yang indah. Zaman dahulu, sebelum Jepang menjajah Indonesia, buku tersebut digemari banyak orang untuk bacaan, khususnya yang senang melantunkan macapat. Namun demikian, juga tidak sedikit orang yang mencela kitab tersebut yaitu Prof. Dr. R. Ng Purbacaraka lantaran bahasa yang digunakan terlalu halus (bahasa sastrawi tinggi). Obrolan orang desa yang memakai bahasa tadi dianggap terlalu tinggi, sehingga terkesan dibuat-buat.

Serat Cemporet tersebut sampai sekarang masih digemari. Cerita yang dipaparkan dalam kitab ini benar-benar memikat dan memukai pembaca. Pintarnya sang pujangga dalam menghubungkan ceritanya memang mumpuni. Yang menjadi tokoh tidak hanya manusia saja, tapi ada juga dunia gaib siluman/dewa beserta hewan-hewan. Namun demikian, pujangga Ranggawarsita juga tidak lupa menyisipkan nasihat-nasihat atau petuah-petuah arif yang berasal dari nenek moyang

Serat Witaradya

Serat Witaradya (1863 M) adalah karya sastra sejarah gubahan pujangga R. Ng. Ranggawarsita sesudah Serat Pustakaraja dan Serat Ajipamasa (1862 M).

Dalam konstruksi teks-teks Pustakaraja, Serat Witaradya termasuk kelompok Serat Maharaka, bagian Serat Pustakaraja Puwara. Teks Serat Witaradya sangat terkenal pada masanya, sehingga teks tersebut disalin dan dikoleksi di beberapa Perpustakaan.

Serat Witaradya menceritakan mengenai Prabu Kusumawicitra (Prabu Ajipamasa) menjadi raja di Pengging Witaradya sampai menyerahkan tahta kerajaannya kepada putranya, yakni: Prabu Citrasoma. Dalam penelitian ini dikemukakan tentang: Pengging dalam lintasan sejarah Jawa; versi-versi Serat Witaradya; struktur naratif Serat Witaradya dalam bentuk kernel dan satelitnya, lokasanggraha dalam Serat Witaradya, genealogi, mitos Pengging maupun kedudukan Kusumawicitra bagi dinasti raja-raja Kraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran,

Kusumawicitra dimasukkan ke dalam tokoh historis sebagai nenek moyang raja-raja dinasti Kraton Surakarta dan Pura Mangkunegara, sebaliknya melalui Kusumawicitra, raja-raja Kraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran dimasukkan ke dalam kerajawian Jawa yang secara konseptual terdapat dalam viracarita Mahabharata.

Jangka Jaya Baya

Jangka Jayabaya dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Karya tulisan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal usul utama Jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Prapen dari masa Giri Kedaton. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuatnya.

Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Jangka Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Prapen (Sunan Giri ke-3) di Giri Kedaton yang kumpulkannya pada tahun 1540 Saka = 1028 Hijriyah = 1618 Masehi, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singasari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram yang bertakhta (1613-1645 M).

Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang dirinya merupakan keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila dia dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang prabu Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan KalijagaBrawijaya V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.

Kitab Asrar/Musarar / Jangka Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.

Dengan demikian Jangka Jayabaya tidak cukup bukti karya  Ranggawarsita

Diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *