Background
Melemahnya Rupiah terutama disebabkan Bank Sentral AS, The FED menaikan suku bunga dalam usaha memerangi Inflasi. Saat ini interest rate dikisaran 1,5% sampai 1,75% sedang akhir tahun 2022 diperkirakan sebesar 3,25% untuk melawan infkasi.
Inflasi di AS pada Mei 2022 sebesar 8,6% rata2 secara sektoral penyumbang besar al Food 10,1%, Gasoline 48,7%, Listrik 12%, Gas Service 30,2%, Air Fares 37,8%. Inflasi di wilayah Eropa pada Mei 2022 sebesar 8,1%
Juni 18, 2022 – Setelah bertahun-tahun menjadi rujukan bagi pasar keuangan, Federal Reserve tiba-tiba menemukan dirinya diragukan ketika mencoba mengemudikan ekonomi melalui cara memerangi inflasi
Komplain kpd The Fed memiliki nada serupa dari para ekonom, ahli strategi pasar, dan pemimpin bisnis apa yang mereka rasakan sebagai serangkaian policy yang salah.
Pada dasarnya, komplain berpusat pada tiga tema tg tindakan di masa lalu, sekarang dan masa depan: The Fed tidak bertindak cukup cepat untuk menjinakkan inflasi, bahwa ia tidak bertindak cukup agresif sekarang bahkan dengan serangkaian kenaikan suku bunga, dan bahwa seharusnya lebih baik dalam melihat datangnya krisis saat ini.
Mereka seharusnya tahu inflasi meluas dan menjadi lebih mengakar,” kata Quincy Krosby, kepala strategi ekuitas di LPL Financial. “Mengapa The FED tidak melihat ini sehingga tidak mengejutkan.
Feb 12, 2022 – The Fed memang perlu melakukan pengetatan, Paul Krugman mengatakan kepada Bloomberg. “Ini jelas merupakan ekonomi yang sangat panas dan tugas The Fed untuk sedikit mendinginkannya,” katanya. Ekonomi tumbuh 5,7% tahun lalu. Kenaikan tarif “konsisten” akan diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan, katanya.
Tetapi Krugman mencatat bahwa ukuran ekspektasi inflasi jangka panjang lebih rendah daripada jangka pendek. “Ini bukan krisis,” kata Krugman. “Pada titik ini, saya belum melihat tanda-tanda bahwa inflasi telah mengakar dalam perekonomian. The Fed masih memiliki ruang untuk merekayasa soft landing. Tapi itu harus mulai dilakukan.”
Dengan soft landing, “yang saya maksud adalah tidak sampai pada titik di mana kita benar-benar perlu memasukkan ekonomi ke dalam resesi untuk menurunkan inflasi,” kata Krugman. Yang dibutuhkan adalah “jelas bukan shock therapy ,” katanya.
Kondisi Ekonomi Indonesia awal Juli 2022
Inflasi
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Juni 2022 menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir atau sejak Juni 2017 yang tercatat 4,37 persen. Komponen inti pada Juni 2022 mengalami inflasi sebesar 0,19 persen. Tingkat inflasi komponen inti tahun kalender (Januari–Juni) 2022 sebesar 1,82 persen dan tingkat inflasi komponen inti tahun ke tahun (Juni 2022 terhadap Juni 2021) sebesar 2,63 persen (YoY).
Sementara Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) David Sumual menyampaikan daya beli masyarakat masih cukup baik di tengah inflasi yang meningkat. “Kita lihat dari core inflation kan naiknya hanya 2,6 sejauh ini masih terjaga,” katanya kepada Bisnis, Selasa (5/7/2022). Kemudian dari sisi ekspektasi, dia menilai hal tersebut juga masih terkendali dibandingkan negara-negara lain. David menilai daya beli masyarakat kemungkinan mulai tergerus apabila inflasi melebihi 5 persen.
Neraca Dagang
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada Mei 2022 mengalami surplus US$ 2,9 miliar. Nilai ekspor Indonesia Mei 2022 mencapai US$ 21,51 miliar, sedangkan nilai impor mencapai US$ 18,61 miliar.
Negara penyumbang surplus terbesar adalah India, Amerika Serikat, dan Filipina. Neraca perdagangan Indonesia juga mengalami defisit terbesar dengan tiga negara yaitu Australia, Tiongkok, dan Thailand.
CAD (Current Account Deficit)
Pada 2021, CAD membukukan surplus 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini adalah surplus pertama sejak 2011. Untuk 2022, memperkirakan kembali defisit di kisaran 0,5-1,3% dari PDB.
Cadangan Devisa
BI melaporkan posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia mencapai US$135,6 miliar pada Mei 2022.
Analis Makroekonomi Bank Danamon Irman Faiz memperkirakan cadangan devisa pada posisi akhir Juni 2022 berada pada level US$ 134 miliar. Hal ini dikarenakan adanya surplus neraca dagang yang lebih kecil. Selain itu adanya tekanan pada nilai tukar Rupiah yang cukup kuat pada bulan Juni yang lalu akibat agresifnya kebijakan moneter The Fed.
Kurs Rupiah
Mencermati pemulihan ekonomi nasional yang sedang berlangsung, Bank Indonesia menyampaikan perkembangan indikator stabilitas nilai Rupiah secara periodik. Indikator dimaksud adalah nilai tukar Rupiah sebagai berikut:
Pada pagi hari Jumat, 1 Juli 2022
- Rupiah dibuka pada level (bid) Rp14.910 per dolar AS.
- Yield SBN 10 tahun stabil di level 7,20%.
Aliran Modal Asing (Minggu V Juni 2022)
Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing masuk ke pasar keuangan domestik sebesar 1,5 miliar dolar AS hingga 21 Juni 2022. Aliran modal ini cukup besar di di tengah peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global.
Kurs Mata Uang terhadap USD
Tgl 6 – 7 Juli 2022 Mata uang Asia: Rupiah terkoreksi 0,10% menjadi Rp 14980, Rupee melemah 0,16% menjadi Rupee 79,035. Yen terkoreksi 0,32% menjadi 136,13, Singapore Dolar (SGD) terkoreksi 0,03% menjadi 1,30.6. Thailand BHT melemah 0,23% menjadi 35,68. Yuan menguat 0,09% menjadi 6,693. Euro merosot sekitar 1,5 persen mencapai USD 1.0265 terhadap dolar. GBP melemah tipis menjadi USD 1.034. Mark Jerman terhadap USD 1.924 turun dari 1.613. USD menguat terhadap Franc Swiss sebesar 5,09% YoY menjadi 0.979.
Bagaimana ekonom melihat pergerakan rupiah saat ini
1. Enrico Tanuwidjaja, Head Economic and Research UOB Indonesia
Enrico memandang masih ada penguatan dolar AS saat ini, karena kebijakan The Fed saat ini baru setengah jalan. Dolar AS masih akan berlanjut menguat hingga 3-4 bulan ke depan. “Kemungkinan-kemungkinan rupiah melemah karena dolar yang menguat,” jelas Enrico saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (4/7/2022).
Bank Indonesia (BI) selaku penjaga moneter, dinilai telah memberikan respon yang sangat baik dalam menjaga volatilitas pergerakan rupiah. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga tekanan dari faktor eksternal.
Sementara harga komoditas yang masih tinggi, namun perlahan mulai menunjukkan pembalikan tren ke level yang lebih rendah dibandingkan 2-3 bulan sebelumnya. Sehingga harus melihat kecenderungan current account surplus yang mungkin bisa terjadi hingga Kuartal III-2022.
Oleh karena itu, dolar AS diperkirakan masih akan menguat dan rupiah masih akan dibayangi pelemahan. Hingga akhir tahun, level rupiah diperkirakan akan menyentuh level Rp 15.100/US$.
“Kita masih melihat mungkin tiga bulan penguatan dolar, pelemahan rupiah masih ada. Setelahnya baru stabil di Kuartal IV-2022, dengan catatan perbedaan imbal hasil masih positif untuk Indonesia,” jelas Enrico.
“Salah satunya bisa dicapai dengan menaikan suku bunga acuan BI terhadap The Fed, sehingga perbedaan imbal hasil masih positif. Kalau level, kita prediksi di akhir tahun bertengger Rp 15.100/US$,” kata Enrico lagi.
2. David Sumual, Kepala Ekonom PT BCA Tbk
David menilai pelemahan nilai tukar di Indonesia relatif lebih baik dibandingkan pelemahan nilai tukar mata uang di negara lainnya.
Pun jika rupiah menyentuh level Rp 15.000/US$, dia menilai masih lebih baik dibandingkan pelemahan mata uang negara lainnya.
“Saya pikir posisi Rp 15.000/US$ masih relatif lebih baik. Karena negara lain itu pelemahannya lebih dalam, kita melemah 3%, mereka banyak yang di atas 10%. Yen Jepang itu melemah lebih dari 20%. Thailand Baht dan Ringgit juga melemah,” jelas David.
Keseimbangan baru rupiah, kata David kemungkinan masih menunggu kebijakan lanjutan dari BI. Level Rp 15.000/US$ juga menurut David masih kondusif untuk menunjang aktivitas ekspor para pelaku usaha.
“Sesuai perkiraan awal, dari awal tahun rupiah akan mengarah Rp 14.800-Rp 15.000 per dolar AS. Inflasi juga kecenderungan naik, dan akan lihat kebijakan moneter berikutnya,” jelas David.
David memandang perlu ada kenaikan suku bunga acuan BI ke depannya secara gradual. “Saya melihat bisa sekitar 75 – 100 basis point,” ujarnya.
3. Josua Pardede, Ekonom PT Bank Permata
Josua memandang, pelemahan rupiah saat ini disebabkan karena adanya faktor eksternal. Kenaikan suku bunga acuan The Fed membuat perlambatan signifikan ekonomi global.
Dengan adanya pelemahan rupiah saat ini, kata Josua BI akan tetap berada di pasar.
“Kalau melemah, BI akan berada di pasar. Sejauh ini BI akan berada di pasar. Rupiah menjadi salah satu indikator BI dalam melakukan assessment suku bunga,” jelas Josua.
Jika ke depan pergerakan rupiah, Josua memandang dalam rapat dewan gubernur (RDG) nantinya, potensi BI untuk menaikan suku bunga acuan tak terelakan.
“Kalau relatif stabil, BI akan cenderung mempertahankan. Tapi balik lagi perhitungannya adalah inflasi inti. Jadi, BI masih 50:50 mempertahankan atau menaikkan suku bunga,” ujarnya.
4. Eko Listiyanto, INDEF
Eko optimistis, BI pasti akan berupaya agar rupiah tidak tembus hingga Rp 15.000/US$.
“Jika tembus, maka intervensi pasar akan lebih sering, karena asumsi di APBN 14.350/US$, sehingga tentu perlu berupaya mengarah ke asumsi makro supaya anggaran fiskal juga terjaga dari tekanan nilai tukar,” jelasnya.
5. Yusuf Rendy Manilet, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia
Yusuf menilai dinamika volatilitas nilai tukar di pasar keuangan sangat cepat, sehingga sangat memungkinkan rupiah akan menyentuh level Rp 15.000/US$. “Saya kira itu kemudian yang akan menjadi pertimbangan BI sampai sejauh mana mereka kemudian baru akan melakukan intervensi,” jelas Yusuf.
Jika belajar dari pengalaman volatilitas nilai tukar terutama di awal pandemi di Maret 2020 silam, BI ketika itu melakukan intervensi ketika nilai tukar terdepresiasi hampir mencapai Rp 16.000/US$. Pada saat itu BI melakukan intervensi di pasar valas dan hasil intervensi dari BI bermuara terhadap terapresiasinya nilai tukar setelah itu.
“Jadi saya kira, BI akan menunggu dan terlebih dahulu melihat apakah pelemahan nilai tukar ini akan berlanjut misalnya dalam sepekan ini dan ketika depresiasi terjadi sangat dalam barulah kemudian BI akan melakukan intervensi,” jelasnya. Di saat yang bersamaan, Yusuf menilai amunisi BI untuk melakukan intervensi cukup disebabkan cadangan devisa yang berada pada level yang relatif masih baik, yakni US$ 135,6 miliar.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia thn 2022: 5,6%
Dalam laporan Global Economic Prospect (GEP) Juni 2022, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di tingkat 5,1 persen untuk tahun 2022 atau hanya turun 0,1 poin persentase (pp) dari proyeksi sebelumnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, Rabu (26/1/202). menjelaskan pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan turun dari 5,6% di 2021, menuju 4,0% di 2022, dan 2,6% di 2023. Dalam periode yang sama, proyeksi pertumbuhan Tiongkok adalah 8,1%, 4,8% dan 5,2%, sedangkan di Eropa sebesar 5,2%, 3,9%, dan 2,5%. India diproyeksikan tumbuh tinggi sebesar 9,0% di 2021 dan 9,0% di 2022, dan kemudian mengalami moderasi menjadi 7,1% di 2023.
Sementara di Kawasan ASEAN-5, pertumbuhan ekonomi diperkirakan justru berada dalam tren meningkat. Dalam periode 2021-2023, Indonesia diramalkan akan bertumbuh kuat sebesar 3,3%, 5,6%, dan 6,0%, sedangkan Malaysia 3,5%, 5,7%, dan 5,7%. Dalam periode yang sama, pertumbuhan PDB Thailand akan berada pada 1,3%, 4,1%, 4,7%, sedangkan Filipina 4,6%, 6,3%, dan 4,9%.
Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan I-2022 mencapai Rp4.513,0 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.818,6 triliun.
Ekonomi Indonesia triwulan I-2022 terhadap triwulan I-2021 tumbuh sebesar 5,01 persen (y-on-y).
Jika dilihat dari sisi spending kontribusi terbesar terhadap PDB adalah dari konsumsi rumah tangga dan investasi. Tercatat konsumsi rumah tangga tumbuh 4,34% dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi tumbuh 4,09%. Keduanya berkontribusi 84,09%. Anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) Tahun Anggaran 2022 sebesar Rp455,62 triliun dari APBN 2022 yang sebesar Rp1.846,1 triliun.
gandatmadi46@yahoo.com