Oleh : Muhammad Afdi Nizar
(lanjutan)
II.TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi makro yang digunakan untuk mempengaruhi perekonomian melalui perubahan perpajakan (penerimaan pemerintah) dan belanja negara. Kebijakan fiskal dapat digunakan untuk menstabilkan permintaan agregat, distribusi pendapatan, alokasi sumber daya, dan aktivitas perekonomian secara keseluruhan. Ketika permintaan agregat tidak cukup untuk memastikan penyerapan tenaga kerja penuh, maka pemerintah dalam ruang lingkup fiskal harus meningkatkan anggaran belanja negara dan memotong pajak. Sebaliknya ketika permintaan agregat berlebihan sehingga berisiko meningkatkan inflasi, maka pemerintah harus memotong anggaran belanja negara dan meningkatkan penerimaan pajak (Nizar, 2010).
2.1.Siklikalitas Kebijakan Fiskal
Siklikalitas kebijakan fiskal pada prinsipnya merepresentasikan perilaku kebijakan fiskal dalam menghadapi fluktuasi output atau siklus dalam perekonomian. Secara umum, kebijakan fiskal dikatakan ideal dan efektif apabila mampu meratakan (smooth) atau mengimbangi pengaruh siklus ekonomi. Dalam literatur, kebijakan fiskal dengan ciri seperti ini dikenal dengan countercyclical fiscal policy, yang ditandai dengan peningkatan belanja pemerintah selama resesi dan penurunan belanja ketika ekonomi menguat (boom). Bentuk kebijakan fiskal lain yang terkait dengan siklus ekonomi adalah procyclical fiscal policy, yang ditandai dengan peningkatan belanja pemerintah ketika ekonomi menguat (boom) dan penurunan belanja selama resesi.
Kaminsky, Reinhart dan Végh (KRV, 2004) mendefinisikan siklikalitas kebijakan fiskal berdasarkan instrumen-instrumen kebijakan,yaitu belanja pemerintah (g) dan tarif pajak (t), bukan berdasarkan hasil (outcomes) kebijakan dalam artian keseimbangan fiskal atau penerimaan pajak. Berdasarkan definisi siklikalitas tersebut kemudian diuji implikasinya terhadap variabel-variabel endogen, seperti keseimbangan fiskal primer (primary fiscal balance), penerimaan pajak, dan variabel fiskal lainnya sebagai proporsi terhadap PDB. Definisi siklikalitas kebijakan fiskal dimaksud dirangkum dalam Tabel 2.1, dengan penjelasan sebagai berikut :
i.Kebijakan fiskal dikatakan countercyclical karena cenderung menstabilisasi siklus bisnis (yaitu, kebijakan fiskal bersifat kontraktif pada waktu perekonomian mengalami ekspansi (good times) dan ekspansif pada waktu perekonomian mengalami kontraksi atau resesi (bad times). Kebijakan fiskal countercyclical ditandai dengan belanja pemerintah yang lebih rendah (lebih tinggi) dan tarif pajak lebih tinggi (lebih rendah) pada waktu ekonomi berekspansi (berkontraksi);
ii.Kebijakan fiskal dikatakan procyclical karena cenderung mendukung atau mengikuti siklus bisnis (yaitu, kebijakan fiskal bersifat ekspansif pada good times dan kontraktif pada bad times). Kebijakan fiskal procyclical ditandai dengan belanja pemerintah yang lebih tinggi (lebih rendah) dan tarif pajak lebih rendah (lebih tinggi) pada good (bad) times;
iii.Kebijakan fiskal dikatakan acyclical karena tidak mendukung atau menstabilisasi siklus bisnis. Kebijakan fiskal acyclical ditandai dengan belanja pemerintah dan tarif pajak yang tetap (konstan) secara sistematis seiring dengan siklus bisnis).
Untuk memahami implikasi teoritis dari siklus bisnis terhadap indikator fiskal, dapat diperhatikan uraian berikut ini :
a.Misalkan kebijakan fiskal acyclical. Karena tarif pajak konstan selama siklus dan basis pajak bertambah pada good times dan berkurang pada bad times, maka penerimaan pajak berkorelasi positif dengan siklus bisnis. Hal ini pada gilirannya berimplikasi pada keseimbangan primer yang juga berkorelasi positif dengan siklus. Rasio belanja pemerintah (neto dari pembayaran bunga) terhadap PDB berkorelasi negatif dengan siklus karena belanja pemerintah tidak berubah dan, menurut definisi, PDB tinggi (rendah) pada good (bad) times. Dengan penerimaan pajak yang lebih tinggi (rendah) pada good (bad) times, korelasi rasio penerimaan pajak terhadap PDB dengan siklus bersifat mendua atau ambiguous. (yaitu menjadi positif, nol, atau negatif sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2.1 di atas). Akibatnya, korelasi keseimbangan primer sebagai proporsi dari PDB dengan siklus juga ambiguous;
b.Misalkan kebijakan fiskal procyclical. Karena menurut definisi, tarif pajak turun (naik) pada good(bad) times, namun basis pajak bergerak dengan arah yang berlawanan, maka korelasi penerimaan pajak dengan siklus ambiguous. Karena g naik pada good times, korelasi g/GDP pada prinsipnya bisa bernilai salah satu. Dengan perilaku siklikal penerimaan pajak yang ambiguous, perilaku siklikal penerimaan pajak sebagai proporsi GDP juga ambiguous. Perilaku keseimbangan primer sebagai proporsi PDB juga menjadi ambiguous;
c.Misalkan kebijakan fiskal countercyclical. Per definisi, tarif pajak tinggi pada good times dan rendah pada bad times, yang menunjukkan bahwa penerimaan pajak berubah secara positif (searah) dengan siklus. Hal yang sama juga berlaku bagi keseimbangan primer karena penerimaan pajak naik (turun) dan belanja pemerintah turun (naik) pada good (bad) times. Rasio g/GDP akan berubah secara negatif (berlawanan arah) dengan siklus karena g turun (naik) pada good (bad) times. Karena penerimaan pajak meningkat pada good times, perilaku penerimaan pajak sebagai proporsi PDB akan menjadi ambiguous dan, karena itu, perilaku keseimbangan primer sebagai proporsi dari PDB juga ambiguous.
Dalam upaya mengimbangi pengaruh siklus ekonomi, kebijakan fiskal biasanya didesain melalui dua cara, yaitu (Budnevich L., 2002) :
a.Kebijakan fiskal diskresioner (discretionary fiscal policy), yaitu kebijakan fiskal dengan perubahan yang bersifat diskresi dalam belanja pemerintah dan/atau penerimaan pajak untuk mencapai tujuan ekonomi nasional tertentu, misalnya full employment, stabilitas harga, dan pertumbuhan ekonomi. Desain ini seringkali direkomendasikan untuk merespon kondisi ekonomi, terutama pada masa resesi, yaitu pemotongan pajak atau peningkatan belanja. Tujuannya adalah untuk menggerakkan kembali roda perekonomian sehingga pendulum siklus ekonomi menjadi lebih moderat. Namun demikian, kebijakan fiskal diskresioner sulit digunakan untuk tujuan stabilisasi karena “inside lag”—beda kala (time-lag)antara waktu ketika kebutuhan atas kebijakan fiskal muncul dengan waktu ketika kebijakan itu diiimplementasikan oleh pemerintah. Hal ini juga terkait dengan proses pengambilan keputusan politik yang dipengaruhi oleh beragam kepentingan dan kebijakan fiskal diskresi tidak secara otomatis berbalik apabila siklus perekonomian membaik;
b.Kebijakan fiskal dengan penstabil otomatis (automatic stabilizers), yaitu elemen-elemen kebijakan fiskal yang cenderung memitigasi fluktuasi output (siklus ekonomi) tanpa aksi pemerintah secara eksplisit. Penstabil otomatis dapat berupa penurunan pajak atau peningkatan belanja pemerintah pada waktu resesi (kontraksi ekonomi), dan meningkatkan penerimaan pajak atau menekan belanja pada waktu ekspansi ekonomi. Pajak pendapatan (income taxes) yang progresif, pajak pertambahan nilai (value added taxes), pajak atas laba perusahaan, dan tunjangan pengangguran (unemployment benefits) adalah elemen kebijakan fiskal dapat berfungsi sebagai penstabil otomatis. Misalnya, karena output turun (resesi), pengumpulan penerimaan akan berkurang dan tunjangan pengangguran akan bertambah. Perubahan tersebut akan memberikan dampak langsung terhadap pendapatan dunia usaha dan rumah tangga.
Adanya kebutuhan untuk mendesain kebijakan fiskal yang dikresioner dan dengan penstabil otomatis tersebut berangkat dari dua aliran pemikiran utama tentang perilaku kebijakan fiskal dan siklus ekonomi. Kedua aliran tersebut adalah ekonom pendukung Keynesian dan ekonom pendukung hipotesis tax-smoothing. Pendukung Keynesian yang lebih menyukai kebijakan fiskal countercyclical menyatakan bahwa pemerintah harus meningkatkan belanja dan/atau menurunkan tarif pajak selama resesi untuk menstimulasi permintaan agregat dan secara parsial mencegah penggunaan sumber daya ekonomi yang tidak optimal dalam jangka panjang. Sebaliknya, dalam periode ekspansi pemerintah harus melakukan pemotongan belanja dan/atau menaikkan tarif pajak untuk menghindari memanasnya (overheating) perekonomian domestik dan mengendalikan tekanan inflasi.
Argumen lain adalah model tax-smoothing yang diperkenalkan oleh Barro (1979). Model ini menyatakan bahwa kebijakan fiskal sebaiknya tetap netral selama siklus ekonomi (acyclical) dan hanya merespon perubahan-perubahan yang tidak diantisipasi yang mempengaruhi konstrain anggaran pemerintah. Misalkan, mengacu pada skenario Barro, pilihan kebijakan adalah pajak yang konstan (untuk menghindari distorsi antar waktu yang terjadi jika tarif pajak berubah selama siklus ekonomi), sehingga anggaran secara rata-rata berimbang selama siklus ekonomi. Akibatnya, penerimaan pajak sebagai rasio terhadap PDB bersifat acyclical– dengan tarif pajak konstan, penerimaan naik tajam selama boom dan turun selama resesi. Namun demikian, dengan jalur belanja pemerintah yang bersifat countercyclical dan rasio pajak terhadap PDB yang acyclical, defisit anggaran bersifat countercyclical. Berdasarkan argumen tersebut, pada satu sisi, apabila pengambil keputusan mengikuti aturan Keynesian, dapat dikatakan selama siklus bisnis korelasi positif antara tarif pajak dan output, dan korelasi negatif antara belanja pemerintah dan output. Pada sisi lain, jika pengambil keputusan mengikuti argumen Barro, korelasi tersebut sangat rendah, hampir mendekati nol.
2.2.Studi Empiris tentang Siklikalitas Kebijakan Fiskal
Terdapat banyak literatur hasil studi empiris tentang siklikalitas kebijakan fiskal, baik untuk kasus negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Studi Gavin dan Perotti (1997) untuk kasus negara-negara industri dan negara-negara Amerika Latin. Dengan menggunakan pertumbuhan surplus sebagai variabel dependen dan nilai tukar perdagangan (terms of trade) dan pertumbuhan PDB riil sebagai variabel independen, menemukan bahwa kebijakan fiskal di negara-negara Amerika Latin cenderung bersifat ekspansif pada waktu kondisi ekonomi lebih baik (good times) dan cenderung kontraktif pada waktu resesi (bad times). Artinya, kebijakan fiskal bersifat procyclical dan cenderung menguatkan siklus bisnis. Sementara di negara-negara industri kebijakan fiskal bersifat countercyclical.
Pendekatan yang hampir sama digunakan oleh Manasse (2006), dengan menetapkan pertumbuhan surplus fiskal sebagai share dari PDB sebagai variabel dependen dan sebagai variabel penjelasdigunakan output gap dan terms of tradeserta output gap dan public debt. Hasilnya, dengan menggunakan metode estimasi OLS, perilaku fiskal bersifat procyclical, danmenggunkan regresi MARS cenderung acyclical pada good times dan procyclical pada bad times.
Studi Alesina dan Tabellini (2005) membandingkan siklikalitas kebijakan fiskal negara maju dan negara berkembang, menggunakan pertumbuhan belanja pemerintah, pendapatan dan surplus anggaran sebagai variabel fiskal dan dikaitkan dengan GDP gap dan terms of trade. Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan fiskal countercyclical dilakukan oleh negara maju, sedangkan negara berkembang bersifat procyclical. Model yang sama dibangun oleh Badinger (2008) untuk 88 negara dalam periode 44 tahun. Namun sebagai variabel penjelas siklikalitas belanja pemerintah digunakan pertumbuhan PDB riil. Hasilnya mengkonfirmasi pola siklis belanja publik dalam studi Alesina dan Tabellini (2005).
Ilzetck (2008) meneliti perilaku kebijakan fiskal selama siklus bisnis dengan variabel dependen konsumsi pemerintah dan PDB riil sebagai variabel penjelas. Hasinya, konsumsi pemerintah dan output memiliki hubungan positif untuk negara berkembang. Namun berbeda dengan temuan sebelumnya, Ilzetcki (2008) menemukan bahwa negara maju juga menunjukkan pola kebijakan fiskal procyclical dan memverifikasi bahwa negara berkembang menunjukkan stancekebijakan fiskal yang lebih procyclical. Studi Fatas dan Mihov (2003), dengan fokus negara-negara OECD menunjukkan hasil bahwa defisit primer sebagai proporsi dari PDB riil bersifat countercyclical selama siklus bisnis, sedangkan penerimaan negara bersifat procyclical. Metodologi yang berbeda untuk menunjukkan perilaku kebijakan fiskal digunakan oleh Kaminski, Reinhart dan Vegh (KRV, 2004). Dengan memetakan PDB riil dan belanja riil pemerintah ditemukan fakta bahwa kebijakan fiskal pada umumnya countercyclical atau acyclical di negara-negara OECD selama siklus bisnis dan lebih procyclical di negara-negara berkembang.
Sementara itu, studi Tornell dan Lane (1999) menemukan adanya pengaruh faktor politik terhadap siklikalitas kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal yang procyclical terjadi karena adanya kelompok tertentu yang bersaing untuk memperoleh bagian penerimaan pajak. Pengaruh kelompok tersebut dikenal dengan voracity effect. Apabila terdapat shock positif, tidak ada kelompok yang mau membatasi permintaan terhadap sumber daya yang bertambah, karena kelompok itu mengetahui bahwa kelompok lain akan mengambil sumber daya yang tersimpan. Dalam perspektif anggaran negara, efek ini ditandai dengan kecenderungan naiknya belanja negara mengikuti kenaikan penerimaan negara (meskipun kenaikan penerimaan bersifat temporer) berdasarkan hasil kesepakatan dari beberapa kelompok politik di parlemen.
Studi yang dilakukan oleh Lane (2003) dan Alesina dan Tabellini (2005) memberikan konklusi bahwa faktor-faktor politik dan institusional juga mempengaruhi reaksi kebijakan fiskal. Menurut Lane (2003), negara-negara dengan output yang rentan (volatile) dan dengan kekuatan politik yang tersebar, paling berpotensi menjalankan kebijakan fiskal yang procyclical. Dalam perspektif lain, Alesina dan Tabellini (2005) membuktikan bahwa kebijakan fiskal yang procyclical di negara-negara berkembang (kawasan Sub-Saharan dan Amerika Latin) bisa dijelaskan dengan tingginya tingkat korupsi. Demikian pula studi Alesina, Campante dan Tabellini (2008) yang mendemonstrasikan bahwa konflik kepentingan antara pemerintah dengan pemilih (electorate) bisa menyebabkan kebijakan belanja pemerintah dan defisit yang procyclical.
Untuk kasus Indonesia, ada beberapa studi yang pernah dilakukan terkait dengan siklikalitas kebijakan fiskal. Pertama, studi yang dilakukan oleh Baldacci (2009), dengan menekankan pada respon keseimbangan primer (primary balance), pendapatan dan belanja, dan belanja barang dan jasa dalam periode 1993 – 2008. Hasil studi menunjukkan bahwa : (i) keseimbangan primer (primary balance) bersifat netral (acyclical); (ii) pendapatan dan belanja bersifat acyclical atau procyclical; dan (iii) belanja barang dan jasa sangat procyclical.
Kedua, studi yang dilakukan oleh Nizar (2010), dengan mengadopsi model fiscal impulse measure-IMF dan memperhitungkan pengaruh siklus ekonomi berdasarkan kesenjangan output yang terjadi di dalam perekonomian. Studi ini memberikan hasil bahwa kebijakan fiskal pemerintah Indonesia dalam periode 2000 – 2009 cenderung bersifat procyclical ketimbang countercyclical.
(bersambung)
gandatmadi46@yahoo.com