Sejarah kerajaan Pontianak
Keraton Kadariah adalah istana Kesultanan Pontianak yang dibangun pada dari tahun 1771 sampai 1778 masehi. Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri adalah sultan pertama yang mendiami istana tersebut. Keraton ini berada di dekat pusat Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Keberadan keraton Kadariah tidak lepas dari sosok Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadrie (1738-1808 M), yang masa mudanya telah mengunjungi berbagai daerah di Nusantara dan melakukan kontak dagang dari para Saudagar di berbagai Negara.
Ketika Habib Husein Alkadrie, yang pernah menjadi Hakim agama kerajaan Matan dan ulama terkemuka di Kerajaan Mempawah, wafat pada tahun 1770M, Syarif Abdurrahman beserta keluarganya memutuskan untuk mencari daerah pemukiman baru. sampai pada tanggal 23 oktober 1771 M (24 Rajab 1181H), mereka tiba di daerah dekat pertemuan tiga sungai, yaitu sungai Landak, Sungai Kapuas kecil dan Sungai Kapuas. mereka memutuskan untuk menetap didaerah tersebut.
Ketika mencari pemukiman baru, menggunakan 14 perahu mereka menyusuri Sungai Peniti hingga pada akhirnya mereka menetap di sebuah tanjung bernama Kelapa Tinggi Segedong, namun tempat itu dianggap tidak tepat. Ketika menelusuri sungai konon sempat diganggu mahluk halus, yang kemudian behasil ditaklukkan. Dari sumber lain nama Pontianak berasal dari kata kuntilanak.
Pada tanggal 23 Oktober1771 (14 Rajab 1184 H), tepatnya menjelang subuh, mereka akhirnya sampai di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Rombongan Syarif Alkadrie kemudian menebang pohon-pohon di hutan selama delapan hari guna keperluan membangun rumah, balai, dan sebagainya. Di tempat itulah Kesultanan Kadriah berdiri, beserta Masjid Djami‘ (yang telah berdiri sebelumnya) dan Keraton Pontianak (yang berdiri setelah berdirinya kesultanan). Pada tanggal 8 Sya‘ban tahun 1192 H, Syarif Alkadrie akhirnya dinobatkan sebagai Raja Pontianak ke1, dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie ( 1778 – 1808 )
Era Kolonial Belanda
Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpalm. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal. Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779–1784) dengan kedudukan di Pontianak.
Semula Raja Pontianak ke 1, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (1808-1819) menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak.
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808–1819) naik tahta menjadi Raja Pontianak ke 2 menggantikan ayahnya. Syarif Kasim bin Syarif Abdurrachman Alqadrie (1808-1819)
Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan Inggris sejak tahun 1811.
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819–1855) naik tahta sebagai Raja Pontianak ke 3. Beliau adalah putra Raja Pontianak ke 1 atau adik Raja ke 2. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860.
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855–1872), kemudian dinobatkan sebagai Raja Pontianak ke 4 pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872–1895) naik tahta beberapa bulan setelah ayahnya wafat menjadi Raja Pontianak ke 5. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam. Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895–1944) yang dinobatkan sebagai Raja Pontianak ke 6 pada 6 Agustus 1895.
Syarif Muhammad Alkadrie (1895–1944)
Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi–organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan para undangan (sekitar tahun 1930)
Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun 1942. Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat.
Pihak Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat terdapat komplotan-komplotan yang terdiri atas kaum cendekiawan, para bangsawan, raja, sultan, tokoh masyarakat, orang-orang Tionghoa, dan para pejabat. Sehingga mereka berinisiatif untuk menghancurkan mereka dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi antara September 1943 dan awal 1944. Tak hanya melakukan penangkapan-penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan penduduk Pontianak dan sekitarnya. Pada 28 Juni 1944, Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, para cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak. Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan lain serta masyarakat di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-mena Jepang inilah yang menjadi salah satu faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.
Jumlah korban kekejaman Jepang yg ditulis di wikipedia a.l. Syarif Moehammad Alkadri (Sultan Pontianak, 74 Tahun), Pangeran Adipati (putra Sultan Pontianak, 31 tahun), Pangeran Agung (26), JE Patiasina (51), Lumban Pea, dr Roebini, Panangian Harahap, Noto Soedjono, FJ Loway Paath, Octavianoes Loecas, OerayAlioedin, Dusti Saoenan ( Panembahan Ketapang), M Ibrahim Tsafioeddin ( Sultan Sambas ), Sawon Wongso Atmodjo, Abd Samad, dr Soenarjo Martowardojo, M Jatim, RM Soedijono, Soedarmadi, Soedarmadi, Nasaroeddin, Tambunan, Nasroen Pangeran, Londok Kawengian, WFM Tewoe, Wagiman bin Wonosoemito, dr RM Ahmad Diponegoro, dr Ismail, Ahmad Maidin, Amaliah Roebini, Noerlela Harahap, Tengkoe Idris (Panembahan Sukadana,Goesti Mesir (Penembangan Simpang), Syarif Saleh (Penembahan Kubu), Gusti A Hamid (Panembahan Ngabang), Ade Moehammad Arief (Panembahan Sanggau), Goesti Moehammad Kelip (Penembahan Sekadau ), Goesti Djafar, Raden Abdoel Bahry Daroe Perdana (Penembahan Sintang), Moehammad Taoefik (Penembahan Mempawah ), AFP Lantang, Raden Nalaprana
Sedangkan jumlah tewas dari keturunan China ratusan kemungkinan ribuan yg terdaftar termasuk diwilayah lain di Kalsel, Kalteng dan Kalbar.
Note: diantara yg menjadi korban terdapat orang tua teman sekelas di SR dan SMP Katolik Sby, Gusti Hermawan sepupu Gusti Imanuddin Djohan.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada di Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945.
Note: di antara tahun 1944 – 1945 terjadi kekosongan, sebagai raja sementara ditunjuk cucu tertua, Sultan Syarif Thata Alqadrie bin Syarif Muhammad Alqadrie
Era Perjuangan
Sebagai Raja Pontianak setelah masa transisi adalah putra sulung dari Sultan Syarif Muhammad yang dibunuh Jepang dengan gelar Sultan Hamid II bin Syarif Muhammad Alqadrie (1945-1950). lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia. Ia beristrikan seorang perempuan Belanda kelahiran Surabaya, yang memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di Negeri Belanda
Sultan Hamid II, pada tahun 1933 masuk sekolah militer KMA di Belanda dan lulus tahun 1937. Setelah lulus dia langsung dilantik menjadi Perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Tanggal 31 Mei 1938 Sultan Hamid II menikah dengan Dina Van Delden yang merupakan seorang wanita Belanda. Dari pernikahan ini dia dikaruniai dua orang anak, yakni Edith Denise Corry Alkadri dan Max Nico Alkadri, di kemudian hari Sultan Hamid II menikah lagi dengan seorang putri dari Yogyakarta, Ny. Reni.
Ketika Belanda menyerah kalah dari Jepang pada Maret 1942, Sultan Hamid II yang merupakan perwira KNIL ditahan di penjara Batavia. Baru setelah Sekutu masuk kembali ke Indonesia tahun 1945, Sultan Hamid II kembali dibebaskan dan langsung kembali ke Pontianak. Karena ditawan selama 3 tahun, dia tak mendengar kabar berita apapun di Pontianak, termasuk penangkapan dan pembunuhan ayahnya. Dia juga terkejut ketika yang menjadi Sultan adalah Syarif Thata Alkadri. Dia memberi saran pada Syarif Thata Alkadri agar meletakan jabatan Sultan dan menyerahkan kepadanya, dan permintaannya itu pun diiyakan oleh Syarif Thata. Tanggal 29 Oktober 1945, Syarif Hamid II Alkadri dilantik menjadi Sultan ke delapan Pontianak. Selain sebagai Sultan Pontianak, dia juga sekaligus menjabat sebagai Kepala Swapraja Pontanak.
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada 27 Desember 1949 Sultan Hamid II menjabat sebagai Ketua BFO yang mewakili daerah bagian/satuan kenegaraan (DIKB – Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar) dan negara bagian diluar RI 17 Agustus 1945 dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 Yogyakarta bersepakat membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat.
Suasana sidang pada Konferensi Meja Bundar (KMB).
Merle Cochran, dari PBB, Hatta, dari Indonesia,
Sultan Hamid II dari BFO ( negara federal), Van Maarseven dari Belanda
Era Republik
Semasa hidupnya, Sultan Hamid II banyak terlibat dalam dunia Politik seperti menjadi ketua delegasi BFO di Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Mentri Negara Zonder Fortofolio, dan ikut serta dalam perancangan dasar negara, yaitu Garuda Pancasila. Sultan Hamid II juga dikaitkan dengan pemberontakan “APRA” pimpinan Westerling. Mahkamah Agung membebaskan tuduhan primer keterlibatan dengan peristiwa Westerling Di Bandung
Tetapi MA memutuskan hukuman 10 tahun penjara karena Sultan Hamid II melakukan makar, karena ada unsur niat menyerang sidang RIS tgl 24 Februari 1950, artinya tidak ada pelaksanaan penyerangan. Menurut para pembela dan masyarakat yg mengusulkan gelar pahlawan kepada Sultan Hamid II, demi sejarah bisa mengajukan PK.
Sekeluarnya dari tahanan 1960 ia kemudian bergabung kedalam Partai Masyumi yang dipimpin oleh M. Natsir. Pada saat itu Partai Matsyumi dan Partai PSI sama-sama menentang faham “NASAKOM” di Indonesia. Semasa pemerintahan Orde Lama, Sultan Hamid II bersama-sama Sutan Syahrir, Mohtar Lubis pada saat menghadiri pemakaman ayah dari sahabatnya Ide Anak Agung Gde Agung di Bali ditangkap dan dipenjarakan dengan alasan yang tidak jelas, selama ditahanan bertemu dengan Syamsuddin Sutan Makmur (Mantan Menteri Penerangan 12-8-1955 sampai dengan 24-3-1956).
Semasa pemerintahan Orde Baru, bersama generasi muda yang tergabung dalam KAMI dan KAPI tahun 1966 ia dibebaskan dari tahanan dan tinggal bersama keluarga Syamsuddin Sutan Makmur di Jakarta.
Note: Ide Anak Agung Gde Agung mendapat gelar pahlawan Nasional.
Ide Anak Agung Gde Agung, Wapres Hatta, Presiden Soekarno, Sultan Hamif II, Mr M Rum
Presiden dan Wapres menerima kunjungan para wakil BFO ( Syarikat ) pada bln Juli 1949
di Istana Presiden di Yogyakarta
Lambang Negara
Pada tanggal 18 Juli 1974 Sultan Hamid II menyerahkan dokumen (manuskrip) gambar-gambar sketsa rencana Lambang Negara dan Matersi RIS dan gambar perumusan final lambang Negara, kepada H. Mas Agung di Yayasan Idayu, A Kwitang No.24 Jakarta, kecuali gambar Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan photo gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh keluarga Kraton Kadriyah Pontianak.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak Batulayang di Pontianak.
Konflik dengan Sultan Hemengku Buwono ke IX
Gesekan awal kedua tokoh yang sejatinya berteman, saat Hamid pernah bersekolah ELS di Yogyakarta ini terjadi di sekitar peristiwa Agresi Militer Belanda II yang dimulai pada 18 Desember 1948. Belanda yang melihat Yogyakarta sebagai suatu negara yang sebenarnya terpisah dari Indonesia dan siap merdeka sendiri mencoba membujuk Sultan HB IX agar mau bekerja sama dengan Belanda. Berbagai delegasi dari Belanda dikirim untuk membujuk Sultan, mulai dari Residen E.M Stok, Dr. Berkhuis, komandan militer Belanda di Yogya Kolonel Van Langen, Husein Djajadiningrat, dan termasuklah Sultan Hamid II. Hamid memiliki posisi penting dalam pemerintahan Indonesia saat itu dan dianggap mampu membujuk Sultan HB IX, ia adalah ketua Bijenkomst boor Federale Overleg (BFO) yang merupakan suatu majelis permusyawaratan negara federal. Dalam BFO terdapat negara-negara boneka yang diciptakan dan didukung Belanda selama revolusi kemerdekaan, termasuklah daerah Kalimantan Barat yang ia kepalai.
Sultan Hamid II (kiri) dan Sultan HB IX (tengah) terlihat akrab
di sela-sela Konferensi Tiga Negara (KTN), di Kaliurang
Yogyakarta, sekitar 1948.
Dokumentasi: bpad.jogjaprov.do.id
Bujukan-bujukan dari Belanda tersebut juga lengkap dengan segudang tawaran untuk Sultan HB IX jika mau bekerja sama. Mulai dari tawaran dana tidak terbatas untuk Keraton Yogyakarta, tawaran kepemilikan saham di perusahaan pelayaran dan kereta api Hindia Belanda, dan yang paling menggiurkan adalah tawaran menjadi Wali Super (Penguasa) untuk seluruh wilayah Jawa dan Madura. Berhasil? Tidak, orang-orang yang ditugasi untuk membujuk Sultan HB IX tidak pernah berhasil menemui langsung beliau melainkan melalui saudaranya seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murdaningrat, dan Pangeran Bintoro. Mengetahui hal itu Sultan HB IX hanya tersenyum sinis.
Sikap kontra Hamid terhadap pemerintahan RIS sempat ditunjukkan olehnya dalam permasalahan pengiriman pasukan APRIS ke Kalimantan Barat, negara bagian yang ia pimpin. Ia tidak memberikan izin APRIS masuk ke wilayahnya. Walhasil permasalahan tersebut diselesaikan dalam sidang kabinet dan diputuskan hak untuk menempatkan pasukan APRIS adalah hak dari Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX.
Rencana penyerangan sidang kabinet di Pejambon, Jakarta, pada pukul 19.00 tanggal 24 Januari 1950 harus menelan pil pahit alias gagal. Penyebabnya, sidang kabinet yang diprediksi selesai jam 20.00 ternyata selesai lebih awal pada pukul 18.35. Tempat tersebut sudah sepi dan tidak terlihat satu menteri pun saat Westerling dan gerombolannya datang pada pukul 19.00. Hari itu juga penumpasan terhadap kelompok APRA mulai dilakukan. Lewat berbagai keterangan kelompok APRA yang telah tertanggap TNI, diketahui Sultan Hamid II menjadi otak penyerangan sidang menteri kabinet di Pejambon pada 24 Januari 1950. Sultan Hamid baru tertanggap pada 5 April 1950 setelah melewati berbagai penyelidikan. Ia ditangkap di Hotel Des Indes tanpa perlawanan.
Atas perbuatan subversif yang diberi label pengkhianat terhadap bangsa dan negara Indonesia, ia diajukan untuk diadili di depan Mahkamah Agung. Hasilnya pada 8 April 1953 ia dijatuhi vonis penjara 10 tahun dipotong masa tahanan selama satu tahun. Pada 1958 ia sudah kembali menghirup udara bebas setelah mendapatkan remisi dan berbagai pengurangan masa hukuman. Nahas, pada 1962 ia kembali ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena dituduh oleh rezim Soekarno merencanakan kegiatan makar melalui organisasi Vrijwillige Ondergrondsche Corps tanpa diadili dan baru bebas pada 1966 setelah kejatuhan Orde Lama. Setelah bebas Sultan Hamid II, sultan Pontianak keturunan Arab yang tampan dan memiliki istri berkebangsaan Belanda tersebut menggeluti dunia bisnis hingga wafat pada 1978. Hingga ia meninggal tidak diketahui secara pasti bagaimana hubungan Hamid dan HB IX, apakah sudah rujuk dan saling memaafkan.
dikumpulkan dari berbagai sumber oleh gandatmadi46@yahoo.com
Kerennn terima kasih Atas informasinya sangat menarik