Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudidn Muhtadi menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Votes fot Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi dan Institusi” dalam pengukuhan Guru Besar UIN Jakarta di Auditorium Harun Nasution, Ciputat, Jakarta pada Rabu (29/11/2023).
Dijelaskan, praktik jual beli suara hanya memiliki efek 10 persen terhadap hasil pemilihan umum. Meski tidak banyak, kata Burhan, angka ini diperebutkan partai politik karena dinilai menguntungkan. Disebutkan bahwa efek 10 persen pada politik uang ternyata cukup memberikan hasil signifikan pada perolehan suara.
Saya mengulas dinamika jual beli suara di Indonesia dan menginvestigasi secara menyeluruh. Pertanyaannya, seberapa banyak praktik politik uang di Indonesia dan seberapa efektif?” kata Burhanuudin.
Burhan menyampaikan, berdasarkan riset yang dilakukannya, sekitar 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2014 terlibat politik uang.
Indonesia pun menjadi negara dengan tingkat politik uang tertinggi ketiga di dunia, di bawah Uganda dan Benin.
Pemilih yang menjadi simpatisan ditarget politik uang. Jumlahnya mencapai 15 persen dari total pemilih, sedangkan 85 persen lainnya adalah massa mengambang (swing voters). “Mereka enggan membidik pemilih mengambang karena menganggap menerima uang, tapi soal memilih, tidak bisa diandalkan,” jelasnya.
Burhanuddin meneliti dampak praktik jual beli uang setelah pemerintah Soeharto, khususnya pada pemilu 2014 dan 2019. Ditemukan bahwa selisih yang dibutuhkan agar caleg bisa menang dari rivalnya hanya sebesar 1,6 persen.
Oleh sebab itu, angka 10 persen akan tetap menjadi perebutan di antara pelaku politik, terutama dengan sistem proporsional terbuka di Indonesia. “Meski efek politik uang hanya 10 persen, tetapi dalam konteks kompleksitas politik bisa membuat perbedaan yang besar,” ungkapnya.
Penelitian Burhanuddin juga menemukan bahwa partai politik banyak menyasar pemilih partisan sebagai target jual beli suara.
Terpapar politik uang
Burhanuddin Muhtadi, menemukan bahwa satu dari tiga peserta pemilu di Indonesia telah terpapar oleh praktik jual beli suara. Menggunakan survei nasional yang bersifat representatif pada pemilu 2014 dan 2019, Burhanuddin menemukan bahwa sekitar 33 persen pemilih terdaftar terlibat dalam politik uang.
Dia menjelaskan bahwa saat ini pemilih terdaftar di Indonesia mencapai 192 juta orang. Sehingga, jika angkanya 33 persen, berarti sekitar 63,5 juta pemilih di Indonesia menjadi bagian dari jual beli suara.
“Dengan kata lain, 1 dari 3 orang Indonesia terpapar politik uang,” ujar Burhan, Burhanuddin menambahkan, bahwa angka tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat politik uang terbesar ketiga di dunia.
“Indonesia berada di peringkat ketiga sedunia dalam hal banyaknya praktik politik uang (buying voters) saat pemilihan umum. Indonesia hanya kalah dari Uganda dan Benin”, tuturnya.
Dia kemudian menjelaskan target dari operasi jual beli suara. Hasil studinya menunjukkan bahwa semakin dekat pemilih dengan sebuah partai, semakin besar kemungkinan ia ditarget pelaku politik uang.
“Partisan konsisten menjadi aktor terkuat dalam menjelaskan politik uang di Indonesia,” kata Burhanuddin. Oleh sebab itu, kata Burhanuddin, politisi kerap memaksimalkan efektivitas politik uang dengan memberikan insentif kepada kepada pemilih yang dianggap bisa diandalkan dalam menyumbang suara.
“Mereka enggan membidik pemilih mengambang karena dianggap mereka menerima paket uang yang ditawarkan, tetapi soal pilihan tidak bisa ditarget,” pungkasnya.
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com