Yang menolak Revisi UU KPK bukan hanya mahasiswa.

Gaduh Pertama

Gaduh pertama tentang revisi UU KPK sudah terjadi ketika Presiden Jokowi menunjuk 9 Panitiya Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan (Capim) KPK, yaitu 1. Yenti Garnasih (Ketua pansel capim KPK, akademisi) 2. Indriyanto Seno Adji (Wakil Ketua Pansel Capim KPK, pengajar di PTIK) 3. Harkristuti Harkrisnowo (anggota pansel KPK, akademisi) 4. Mualimin Abdi (anggota Pansel KPK, Kemenkum HAM) 5. Marcus Priyo Gunarto (anggota pansel KPK) 6. Hamdi Moeloek (anggota pansel KPK, akademisi) 7. Hendardi (anggota pansel KPK, pimpinan LSM) 8. Diani Sadia Wati (anggota pansel KPK) 9. Al Araf (anggota pansel KPK, pimpinan LSM) – Rekam jejak para Pansel dengan mudah diperoleh dari IT.

Pansel akhirnya berhasil menseleksi 10 nama Capim  untuk disampaikan kepada Presiden. Presiden rupanya langsung mengirim ke sepuluh nama tersebut  ke DPR untuk dipilih 5 Capim sebagai Komisioner KPK periode 2019 – 2023. Lima pimpinan KPK terpilih sesuai dengan yang dibacakan oleh Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsuddin pada Jumat 13 September 2019

1. Nawawi Pomolango (hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali) dengan jumlah suara 50,

2. Lili Pintauli Siregar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2013-2018) dengan jumlah suara 44,

3. Nurul Ghufron (Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember) dengan jumlah suara 51,

4. Alexander Marwata (komisioner KPK petahana sekaligus mantan Hakim Tindak Pidana Korupsi) dengan jumlah suara 53,

5. Irjen (Pol) Firli Bahuri (Kepala Polda Sumatera Selatan) dengan jumlah suara 56.

Komisioner KPK 2015 – 2019 keberatan dengan terpilihnya Capim KPK tersebut diatas. Ketua KPK Agus Rahardjo serta dua Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang. Ketiganya memutuskan untuk menyerahkan mandat pimpinan KPK kepada Presiden Joko Widodo

Dipihak lain setelah terpilihnya 5 Capim KPK tersebut terjadi demo di depan kantor KPK oleh kelompok Himpunan Aktivis Milenial Indonesia serta Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Relawan Cinta NKRI. Kedua kelompok itu diketahui sudah berdemo di KPK sejak pekan lalu. Mulanya tuntutan mereka adalah mendukung proses seleksi Capim KPK dan Revisi Undang-Undang KPK disahkan DPR. Mereka menuntut agar anggota Komisioner KPK periode 2015-2019 yang dipimpin Agus Rahardjo segera mundur. Pasalnya sudah ada pimpinan baru yang terpilih dalam proses di DPR RI.

Gaduh Kedua

Gaduh kedua ketika Revisi UU KPK disahkan. UU ini atas inisiasi DPR yang desetujui Presiden dengan catatan. Tercipta dua kelompok, yang pertama mendukung revisi yaitu DPR seluruh fraksi, Pemerintah, Masyarakat sipil. Kelompok ke dua yang anti revisi terdiri atas Komisioner KPK periode 2015 – 2019, Pegawai KPK, eks Komisioner KPK, Masyarakat sipil dan Mahasiswa.

Jika di gaduh pertama para pendemo berasal dari kelompok pro revisi maka di gaduh kedua para pendemo dari mahasiswa anti revisi (kelompok kedua)

Revisi UU KPK Cacat Formal

Indonesian Legal Roundtable (ILR) yang menilai ada lima cacat formal yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam merevisi UU KPK:

Satu, tidak memenuhi asas kejelasan tujuan. Kendati disampaikan DPR dan Presiden bahwa revisi UU KPK untuk memperkuat KPK. Tapi fakta menunjukkan sebaliknya. Dari pasal-pasal akan dibahas seperti, pembentukan dewan pengawas, izin penyadapan, kewenangan SP3 dan formasi kepegawaian menjadi ASN menunjukkan indikasi kuat mengganggu independensi dan memperlemah kelembagaan KPK,” kata Direktur Eksekutif ILR, Firmansyah Arifin dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/9/2019)

Cacat kedua, revisi UU KPK tidak memenuhi asas keterbukaan (Pasal 5 huruf g), yang bersifat transparan dan terbuka mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. “Sehingga masyarakat dapat memberikan masukan seluas-luasnya. Tidak terpenuhinya asas keterbukaan ini dapat dilihat dari keputusan revisi yang diambil secara tiba-tiba, pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan dalam waktu yang sangat terbatas. Sehingga jangankan masyarakat, KPK yang berkepentingan pun tidak diberitahu dan dilibatkan,” ujarnya.

Catat ketiga , tidak ada urgensi nasional dalam revisi UU KPK. Dia mengatakan revisi UU KPK ini tidak didasarkan atas suatu keadaan tertentu yang memastikan adanya urgensi nasional atas RUU KPK.  “Pasal 23 ayat (2) UU 12/2011 memang memungkinkan DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU dilaur prolegnas yang mencakup: (a). untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan (b) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama. Point huruh a jelas tidak terpenuhi. Sedangkan point huruf b, tidak jelas apa yang mendasari DPR dan Presiden Revisi UU KPK sebagai sesuatu yang urgen secara nasional. Sejauh ini peranan KPK bisa dikatakan masih sangat baik, sarat prestasi dan dipercaya publik dalam pemberantasan korupsi,” tutur Firman.

Cacat keempat, menurut Firman tidak ada naskah akademik dalam revisi UU KPK. Padahal, kata dia, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus disertai naskah akademis, sebagaimana dinyatakan Pasal 43 ayat (3) UU 12/2011. “Naskah akademik ini diperlukan untuk menunjukkan maksud, tujuan, rincian pasal-pasal yang akan diubah atau dibentuk, serta implikasinya. Revisi UU KPK ini sepertinya tidak disertai naskah akademik yang menjadi prasyarat penting pembentukan UU. Hingga saat ini pembahasan dilakukan, public tidak mengetahui naskah akademik revisi UU KPK yang sudah disiapkan atau disusun badan legislasi DPR,” kata Firman.

Terakhir, kata Firman, revisi UU KPK juga dinilai cacat karena tidak ada partisipasi masyarakat. Dia menjelaskan, partisipasi masyarakat adalah hak sebagaimana dinyatakan Pasal 96 UU No. 12/2011.  “Partisipasi masyarakat ini baik dalam bentuk lisan dan tulisan yang dapat dilaksanakan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi atau seminar,lokakarya dan/atau diskusi. Dalam waktu yang sangat terbatas dan tertutup, kecil kemungkinan partisipasi masyarakat itu dipenuhi. Bahkan boleh jadi, partisipasi masyarakat itu diabaikan dan tidak dianggap perlu lagi,” ujarnya.

Firman menjelaskan konsekuensi dari pembentukan perundang-undangan yang cacat formil adalah ketentuannya akan bermasalah. Selain itu, UU tersebut akan sulit diimplementasikan dan berpotensi dibatalkan.

Sementara Guru Besar Hukum Pidana UGM Eddy Edward Omar Sharif Hiariej menilai, peranan dewan pengawas dalam tubuh KPK  tidak benar, izin penyadapan cukup dari Komisioner KPK.  Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai dibentuknya Dewan Pengawas dalam revisi UU KPK sebagai cikal bakal pelemahan KPK. Refly mengatakan salah satu cara untuk menyelamatkan KPK adalah Presiden Jokowi harus menolak pengesahan RUU KPK. “Tolak aja pengesahan RUU KPK, sudah selesai.

Bagaimana memahami demo mahasiswa

Ray Rangkuti melihat spontanitas, tuntutan jelas clean and clear) dari mahasiswa yaitu menolak revisi UU KPK, kejadian itu mirip-mirip saat dirinya aktif beraksi sebagai mahasiswa tempo dulu. Meski demikian, Ray Rangkuti berharap aksi para mahasiswa tersebut tidak merembet ke pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Oktober 2019. Pendiri LSM Lingkar Madani tersebut memandang kritik keras mahasiswa terhadap Jokowi terkait RUU KUHP-UU KPK sangat wajar dilakukan. Sebab, katanya, selama ini mahasiswa berharap dengan terpilihnya Jokowi untuk periode kedua diharapkan bisa membawa perubahan, terutama dalam penegakan hukum dan korupsi.

 “Saat ini mahasiswa kecewa karena Pak Jokowi itu habis manis sepah dibuang. Padahal masyarakat yang mendukung Jokowi dengan susah payah demi menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan pemberantasan korupsi. Mereka rela di-bully bahkan sempat ada yang dikafirkan karena memlih Jokowi,” ujar Ray.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar pertemuan dengan para tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Pertemuan membahas tentang persoalan saat ini, mulai dari polemik revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), RUU KUHP, kerusuhan di Papua, serta aksi mahasiswa yang marak belakangan ini.  Dalam pertemuan itu, Jokowi menegaskan komitmennya tidak berubah terkait demokrasi di Indonesia.
“Saya ingin menegaskan kembali komitmen saya kepada kehidupan demokrasi di Indonesia bahwa kebebasan pers, kebebasan menyampaikan pendapat adalah hal dalam demokrasi yang harus terus kita jaga dan pertahankan. Jangan sampai bapak ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini,” tutur Jokowi di Istana Merdeka, Kamis (26/9/2019).
Para tokoh yang hadir dalam acara itu antara lain Goenawan Mohamad, Nono Makarim, Butet Kartaradjasa, Albert Hasibuan, Omi Kamaria Nurcholis Madjid, Heny Supolo, Mochtar Pabottinggi, Franz Magnis Suseno, Abdillah Toha, Zumrotin K. Susilo, Sudamek, Teddy Rachmat.
Hadir juga Erry Riana Hadjapamekas, Christine Hakim, Quraish Shihab, Toety Herati, Alissa Wahid, Saparinah Sadli, Slamet Raharjo, Mahfud MD, Natalia Subagyo, Arifin Panigoro, Emil Salim, Harry Tjan Silalahi, Azyumardi Azra, Nyoman Nuarta.

Catatan

Secepatnya Presiden mengeluarkan PERPPU

Diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *