Bambang Hidayat; Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
( dimuat koran Kompas, 08 November 2013 )
Tradisi terkumpul dalam memori publik untuk suatu tempat dan waktu. Memang seperti itulah tujuan perjalanan kali ini: memahami tempat dan melongok kejayaan Lasem sambil menyusuri sepotong Jalan Pos buatan Daendels, untuk kedua kalinya. Tahun 1952—61 tahun lalu— penulis berempat bersepeda melalui sepotong jalan bersejarah itu dalam perjalanan ke Pulau Bali.
Bersepeda menyusuri pantai utara kala itu masih nikmat bak ”raja jalanan”. Jalan lengang, hanya sewaktu-waktu dalam frekuensi kecil tersalip bus penumpang.
Hampir tiada mobil pribadi. Pohon asem (juga tinggalan Daendels) yang merebak di kiri-kanan jalan merupakan latar depan dari persawahan luas dan tambak garam dan bandeng. Sesekali terlihat jauh di latar belakang Gunung Muria dan rangkaian Pegunungan Kendeng.
Perjalanan kali ini, tahun 2013, berbeda sekali. Duduk dalam mobil dengan penyejuk ruangan dan kaca penapis 60 persen sinar matahari. Kenikmatan milenium ketiga.
Pada 13 Oktober 2013 lalu, jalan yang sama− walau tambah lebar sekira 5 meter ke kiri dan 5 meter ke kanan, −bukan lagi pohon asem yang bertengger di tepian jalan.
Selain rel kereta api SJS (jalan kereta api partikelir, Semarang-Juana-Stoomtram Maatshapij, yang saat itu sudah menjadi bagian PJKA) telah menghilang, ada pohon-pohon ki hujan. Tanaman ini secara sistematis ditanam oleh perusahaan rokok Djarum untuk meraup CO2 yang selama ini dianggap sebagai pemicu pemanasan Bumi.
Nama Jawa ki hujan adalah djoko kesed atau mindik. Disebut djoko kesed atau jejaka malas karena daun pohon tersebut terkatup satu dengan yang lain saat jedanya sinar surya. Konon sepanjang 400 kilometer dari Semarang ke barat sudah tertata rapi tanaman ki hujan ini untuk tujuan di atas.
Beberapa potong jalan melingkar (ring road) juga harus dilampaui agar tidak terseok kemacetan lalu lintas kota besar, seperti Demak, Kudus, dan Pati, yang arteri utamanya sering tersumbat kendaraan umum dan pribadi. Beberapa tanda alami jalan sudah hilang, tergantikan oleh gedung megah dan yang kurang megah, meniru jenis pop dan kitsch. Semua berjejal dengan peninggalan arsitektur kultural fungsional.
Lasem terletak di samping Jalan Raya Daendels dengan pelabuhan kunonya. Sedikit memasuki kota, masjid jamik yang megah membuat orang terperangah oleh kebiruan batu dinding tembok. Tidak mengira bahwa di sebuah kota ”kecamatan” terdapat masjid semegah itu sebagai penanda kebaktian umat dan pengayaan nilai agama.
Lasem yang jamak
Tanpa disadari, masjid jamik tua itu dikelilingi oleh kechinaan. Suatu hal yang wajar mengingat sejarah pertumbuhan Lasem yang beretnis jamak toleran terhadap budaya campuran yang membanjiri kota (baca: desa) itu semenjak abad ke-15.
Beberapa kelenteng tampak berdiri di tengah suasana keislaman. Suatu toleransi yang merupakan konsensus logis pertumbuhannya.
Bahkan, kelenteng tertua (Ca Ang Kiang) menempatkan kongco (dewa yang dimuliakan) dengan nama Raden Panji Margono di antara dua kongco lain yang jelas beretnis China, yakni Oey Ing Kiat (kemudian bergelar Ngabehi Wedyadiningrat) dan Tan Kee Wie.
Mereka bertiga menempati tempat terhormat dalam pikiran masyarakat dan sejarah Lasem karena perjuangan mereka melawan kesewenangan kompeni—usaha dagang Belanda. Kompeni itu menindas, merampas, dan mengambil hak rakyat.
Dipicu oleh China pengungsi yang diperangi VOC di Benteng Batavia (sekarang Jakarta) tahun 1740-an, the three musketeers itu merasa perlu angkat senjata untuk melindungi rakyat. Perang berlangsung dari tahun 1742 sampai 1750—delapan tahun—melawan kekejaman pendatang Barat.
Benteng VOC yang tersebar di Teluk Lasem tidak pernah aman dari gerilya anak buah ketiga pendekar perang tersebut. Sayang, persenjataan kompeni tidak dapat dilawan dengan parang dan keris serta pedang ataupun semangat saja.
Dahulu, Teluk Lasem, Jazirah Mondoliko dan Pelabuhan Jepara (panjang total hanya 150 kilometer) sepanjang pantai utara adalah tujuan pedagang China ke Jawa—ranah madu dan melk untuk hidup.
Catatan lama memperlihatkan bahwa toponimi Lasem berasal dari lak-san, yang artinya 63. Itu adalah jumlah kapal admiral Cheng Ho—pelaut China beragama Islam—yang terdampar di Teluk Lasem pada abad ke-15.
Asimilasi kultural pribumi dan pendatang banyak meninggalkan epigrafi (dalam wujud gedung atau lainnya), kuliner, demografi, dan tata bicara, semua dalam adonan Lasem. Terpampang dengan nyata dalam produksi batik Lasem: warna dan fraktal motif burung merak pada batik khas
ataupun pletora ikon tanaman populis. Wajah pemilik batik pun merupakan produksi unggul antar-ras—indo timur-timur.
Festival yang diadakan di Lasem pun bermaksud menggali tradisi itu. Pesona jalan ”lampion” yang penulis tangkap, struktur internal rumah kuno di belakang tembok membawa penulis ke dalam lorong waktu dan hanya membenarkan julukan Lasem sebagai ”Tiongkok Kecil”.
Namun, kita tidak boleh tinggal diam. Kekayaan, pengawetan, herbal, dan heroismenya harus diabdikan untuk Lasem-Indonesia yang multikultural masa depan.
Perhatian warga Lasem dalam diaspora akan menghidupi harta karun yang gemilang itu.
Bambang Hidayat
PPR ITB G-17 Pasirmuncang, Dago Giri,
Bandung 40135 West Java, Indonesia
hidayatbambang@yahoo.com