Rangkuman dari karya tulis Aris Hardinanto, Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Trunojoyo Madura, pada tgl 03 Jun 2017.
Abstrak
Tulisan ini hendak membandingkan risalah dari sidang-sidang Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau dikenal dengan sebutan Badan Untuk Menyelidiki Usaha Persiapan Kemerdekaan (28 Mei 1945 – 1 Juni 1945 dan 10 Juli 1945 -17 Juli 1945). Penulis mencatat adanya keraguan akan auntentisitas dari dokumen atau risalah rapat-rapat Badan ini.
Pada satu pihak, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945 karya Muhammad Yamin oleh Sekretariat Negara dianggap sumber yang autentik sehingga dijadikan satu-satunya sumber penerbitan Risalah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan sejak tahun 1959 hingga tahun 1992.
Pada lain pihak, pada 1995, diterbitkan edisi ketiga yang memuat perbandingan naskah BPUPKI koleksi Pringgodigdo dengan koleksi Yamin. Catatan yang dapat dibuat adalah adanya perbedaan prinsipil tentang usulan dasar Indonesia merdeka antara kedua koleksi di atas.
Pendahuluan
Jepang mendarat di Hindia Belanda pertama kali pada tanggal 10 November 1942. Masa pendudukan Jepang dapat dianggap sebagai masa dimana secara formal usaha-usaha untuk meraih kemerdekaan diselenggarakan. Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, kemudian di tengah terdesaknya Jepang dalam peperangan Asia Timur Raya, dijanjikan kepada Indonesia bahwa akan dimerdekakan oleh Jepang suatu hari nanti.
Realisasi janji tersebut ditandai dengan dibentuknya Dokuritu Zyunbi Tyosa Kaipada tanggal 29 April 1945, diterjemahkan sebagai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya disebut BPUPK)
BPUPK memiliki dua masa sidang, yaitu masa sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945 dan masa sidang kedua pada tanggal 10 Juli 1945 sampai 17 Juli 1945. Anggota BPUPK terdiri atas Kaityo (Ketua), Fuku Kaityoo (Wakil Ketua), 60 orang Iin (anggota) ditambah 8 orang Tokubetu Iin (anggota kehormatan) dari pihak Jepang.
Notulen
Jalannya persidangan dicatat oleh para notulis dan stenografer yang disediakan oleh Tata Usaha BPUPK. Mereka mengambil notulen dengan tulisan tangan biasa tetapi juga dengan steno. Pidato yang jelas diambil dengan steno ialah pidato Ir. Soekarno yang kemudian dikenal dengan pidato “Lahirnya Pancasila”. Tipe stenografinya kemudian dikenal sebagai stenografi sistem Karundeng.
Kebenaran pidato-pidato anggota BPUPK yang diambil dengan menggunakan stenografi tersebut juga diperkuat dengan keterangan dari dua stenografer BPUPK, yaitu Sumarti T.B. Simatupang dan Netty Karundeng. Menurut mereka berdua, setelah steno gram tersebut selesai dikumpulkan,kemudian diketik. Kelak salah satu salinan stenografi tersebut dipinjam oleh Muhammad Yamin dari Wakil Ketua Tata Usaha BPUPK A.G. Pringgodigdo. Setelah meminjam hasil ketikan stenografi tersebut, pada tahun 1959 Muhammad Yamin menerbitkan buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 yang didasarkan oleh hasil ketikan stenografi itu, naskah asli hasil ketikan tersebut tidak pernah dikembalikan Muhammad Yamin kepada A.G. Pringgodigo sampai akhir hayatnya.
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut Naskah Persiapan) dianggap autentik karena merupakan kata demi kata (woordelijk) dari notulen sidang (notulistisch verslag) BPUPK, sehingga sampai tahun 1992 dijadikan sumber utama penerbitan Sekretariat Negara.
Naskah Persiapan dengan Koleksi Pringgodigdo dan Koleksi Muhammad Yamin memiliki persamaan serta perbedaan. Jika terdapat perbedaan Naskah Persiapan dengan Koleksi Pringgodigdo dan Koleksi Muhammad Yamin, maka Risalah BPUPK 1 dan Risalah BPUPK 2 yang diterbitkan Sekretariat Negara tidak dapat dijadikan rujukan karena sumber yang dijadikan dasar oleh Sekretariat Negara berbeda dengan sumber utamanya.
Maka permasalahan yang muncul adalah, bagaimana autentisitas Naskah Persiapan, Koleksi Pringgodigdo dan Koleksi Yamin sebagai sumber tertulis sejarah perumusan istilah Pancasila pada masa sidang BPUPK 29 Mei-1 Juni 1945.
Penelitian hukum ini dilakukan menggunakan pendekatan historis (historical approach), yaitu pendekatan dalam kerangka pelacakan sejarah, dalam hal ini untuk mengetahui latar belakang munculnya istilah Pancasila sebagai dasar Indonesia dalam masa sidang pertama BPUPK
Pembahasan
Notulen dan stenogram sidang BPUPK diketik untuk kemudian dijilid sebagai laporan kepada pihak Jepang dikumpulkan oleh A.G. Pringgodigdo selaku Wakil Ketua Tata Usaha BPUPK. Formulasi Pancasila dalam masa sidang pertama BPUPK tercantum dalam beberapa sumber tertulis, baik berupa dokumen dan buku. Laporan stenogram yang sudah diketik tersebut mengingat sangat penting untuk segera dikirimkan kepada pihak Jepang di Tokyo, setelah dilakukan pengetikan, tidak lagi diperiksa. Menurut A.G. Pringgodigdo, ada 4 jilid laporan stenogram, dua jilid diserahkan kepada Jepang dan sisanya disimpan sendiri di kantor dan rumahnya.
Laporan yang diarsipkan A.G. Pringgodigdo dikenal dengan nama Koleksi Yamin dikarenakan laporan inilah yang dipinjam oleh Muhammad Yamin sebagai sumber menyusun Naskah Persiapan dan tidak pernah dikembalikan,kemudian oleh pemerintah Orde Baru dinyatakan hilang.
Koleksi Yamin ditemukan kembali di Puri Mangkunegaran, Surakarta. Saat itu B.R.A Satuti istri dari Rahadian Yamin yang merupakan putera Muhammad Yamin meminta karyawan Arsip Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disebut ANRI) untuk merapihkan perpustakaan Mangkunegoro. Koleksi Yamin dianggap telah hilang seiring dengan meninggalnya Muhammad Yamin. Setelah karyawan ANRI menemukan Koleksi Yamin di perpustakaan tersebut,maka dibawa untuk disimpan di gedung ANRI Jakarta.
Sumber tertulis kedua setelah Koleksi Yamin adalah Koleksi Pringgodigdo. Koleksi tersebut awalnya berada di ibu kota Republik Indonesia Yogyakarta, saat terjadi agresi militer II Belanda, menurut A.B. Kusuma dan R.E. Elson koleksi tersebut disita lalu di bawa ke negeri Belanda.
Nationaal Archief Nederland
Menurut catatan dari Nationaal Archief Nederland, Koleksi Pringgodigdo telah dikembalikan kepada ANRI pada tahun 1987. Koleksi Pringgodigdo secara lengkap bernama Archivalia van R.M. MR.Abdul Gaffar Pringgodigdo, Secretaris van Staat van de Republiek Indonesie 1944-1945. Dahulu Koleksi Pringgodigdo dianggap sebagai koleksi milik adik A.G. Pringgodigdo, yaitu A.K. Pringgodigdo.
Koleksi Pringgodigdo nomor 5645 s.d. 5647 berhubungan dengan perumusan Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya terdapat pembahasan dasar Indonesia merdeka. Eksistensi dari Koleksi Pringgodigdo sebelum dikembalikan kepada ANRI, secara tersirat pernah disinggung oleh J.C.T Simorangkir dalam disertasinya yang dibukukan pada tahun 1984. Menurut J.C.T Simorangkir, ia menemukan dokumen dengan deskripsi sebagai berikut:
… Ketua membentuk panitia kecil perancang Undang-undang Dasar terdiri atas Soepomo, Wongsonagoro, Soebardjo, Maramis, Singgih, Salim, Soekiman, Iin, Ketua Soepomo, Iin. Kewajiban Panitia Kecil: merancang Undang-undang Dasar, dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang telah dimajukan di Rapat Panitia Perancang Undang-undang Dasar.
Berdasarkan keterangan J.C.T Simorangkirsaat melakukan pemeriksaan dokumen untuk disertasinya di Belanda, ditemukan dokumen yang tertulis Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan (terjemahan untuk Dokuritu Zyunbi Tyo Sakai) dan dokumen tersebut merupakan tulisan tangan.
Di dalam yang ditemukan olehnya memuat tiga hal, yaitu:1.BPUPK melaksanakan rapat besar (rapat pleno); 2.Panitia hukum dasar dengan Ir. Soekarno sebagai ketua, disebut dalam dokumen tersebut sebagai Panitia Perancang Undang-Undang Dasar; 3.Panitia Kecil dengan Prof. Soepomo sebagai ketua, disebut sebagai Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar.
…pada tahun 1957, Pratignyo dari Departemen Luar Negeri pernah meminta salinan kepada A.G. Pringgodigdo untuk diperbanyak dalam bentuk stensil dan telah diberikan seadanya. Menurut A.B. Kusuma, ada perbedaan risalah sidang yang diterbitkan Departemen Luar Negeri, yaitu pada beberapa bagian pada pidato Muhammad Yamin diberi tanda khusus berupa kotak untuk menandakan bahwa bagian tersebut tidak dapat disebut otentik.
Koleksi AG Pringgodigdo
Naskah Persiapan, Risalah BPUPK 1 dan Risalah BPUPK 2 tidak menjelaskan alasan mengapa hanya mencantumkan tiga orang saja. Ketiga pidato tersebut tidak mencantumkan asal-usul pertanyaan yang menyebabkan ketiga orang itu berpidato. Informasi mengapa muncul pidato dari ketiga orang tersebut dalam waktu yang berbeda dapat ditemukan dalam wasiat Mohammad Hatta kepada Guntur Soekarnoputra sebagai berikut:
Dekat pada akhir bulan Mei 1945 dr. Radjiman, ketua Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia, membuka sidang Panitia itu dengan mengemukakan pertanyaan kepada rapat: “Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya?. Kebanyakan anggota tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena takut pertanyaan itu akan menimbulkan persoalan filosofi yang akan berpanjang-panjang”
Berdasarkan keterangan Mohammad Hatta, diperoleh informasi bahwa pada sidang perdana 29 Mei 1945, RadjimanWediodiningrat selaku ketua BPUPK bertanya landasan filsafati dasar negara Indonesia merdeka kepada seluruh peserta sidang. Pertanyaan dari Radjiman Wediodiningrat tersebut ditanggapi oleh sebagian anggota BPUPK. Ada tiga tokoh yang dikenal mencoba menjawab pertanyaan itu, mereka adalah Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.
Berdasarkan notulen dari Koleksi Pringgodigdo, tidak ditemukan lima jenis dasar Indonesia merdeka sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan. Isi notulen dalam Koleksi Pringgodigdo hanya memberikan informasi tentang gambaran idealnya negara yang sudah merdeka dengan tiga dasar. Bila mengikuti alur Muhammad Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan dan Nugroho Notosutanto bahwa pada tanggal tersebut Muhammad Yamin menjabarkan dasar Indonesia ketika merdeka, maka hanya tiga dasar saja, yaitu permusyawaratan, perwakilan, dan kebijaksaan.
Koleksi Pringgodigdo memuat nama-nama anggota BPUPK yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Tanggal 30 Mei 1945, ada sembilan orang yang berpidato pada sidang BPUPK. Naskah Persiapan, Risalah BPUPK 1, dan RisalahBPUPK 2 tidak mencantumkan isi pidatodari 9 orang tersebut. Sembilan orang tersebut adalah: Hatta, H. Agoes Salim, Samsoedin, Wongsonagoro, Soerachman, Soewandi, A. Rachim, Soekiman, dan Soetardjo.
Dalam Koleksi Pringgodigdo, pidato yang berhasil ditemukan adalah pidato dari Wongsonegoro dan A. Rachim Pratalykrama dalam bentuk notulen. Isi pidato kedua orang itu yang berhubungan dengan dasar Indonesia merdeka sebagai berikut:
Berdasarkan 2 pidato tersebut, A. Rachim Pratalykrama yang dengan jelas berbicara mengenai dasar Indonesia merdeka, yaitu persatuan yang didasarkan atas rakyat yang kokoh. Selain itu juga diusulkan bahwa kepala negara harus beragama Islam, Islam sebagai agama negara, serta kebebasan menjalankan agamaselain Islam sesuai yang diinginkannya.
Pidato Hatta meskipun belum ditemukan, secara garis besar membahas mengenai pemisahan agama dan negara. Hatta sendiri tidak menjawab dengan jelas pertanyaan Radjiman Wediodiningrat. Dalam pidatonya dijelaskan konsepsekularisme dipraktikan di negara-negara Barat. Paus dianggap sebagai raja sekaligus pemuka agama, sehingga menimbulkan pertentangan terus-menerus. Dalam konteks Indonesia hal itu tidak dibenarkan karena agama dan negara saling mengisi.
Sidang BPUPK tanggal 31 Mei 1945 terdapat 14 orang anggota yang berbicara, tidak hanya Soepomo saja yang berpidato hari itu. Mereka adalah: Abdul Kadir, Soepomo, Hendromartono, Muhammad Yamin, Sanoesi, Liem Koen Hian, Moenandar, Dahler, Soekarno, Ki Bagoes Hadikoesoemo38, Koesoema Atmaja, Oei Tjong Hauw, Parada Harahap, dan Boentaran.
Jika melihat pidato Soepomo seutuhnya, maka konteks pidato Soepomo berbicara mengenai struktur sosial Indonesia yang ditopang oleh semangat persatuan hidup, semangat kekeluargaan, keseimbangan lahir batin masyarakat, yang senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya demi menyelenggarakan keinsyafan keadilan rakyat. Soepomo juga menyebutkan mengenai aliran pikiran (staatsidee) Indonesia nantinya, yaitu negara yang integralistik.
Dalam hubungan antara agama dan negara, Soepomo sependapat dengan pidato Hatta pada tanggal 30 Mei 1945, yaitu mengenai pemisahan antara agama dan negara. Dengan kata lain, sependapat harus ada pemisahan antara urusan keagamaan dan urusan kenegaraan. Berdasarkan hal itu, maka pada tanggal 31 Mei 1945 Soepomo tidak menjelaskan dasar Indonesia merdeka yang berjumlah lima.
Penutup
Koleksi Pringgodigdo dan Koleksi Yamin adalah sumber tertulis autentik tentang perumusan sejarah Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka dalam masa sidang pertama Badan Untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Tanggal 29 Mei-1 Juni 1945, sedangkan Naskah Persiapan karya Muhammad Yamin bukan merupakan sumber tertulis autentik karena tidak dicetak kata demi kata (woordelijk) dari notulen sidang (notulistisch verslag) resmi BPUPK. Sekretariat Negara perlu menerbitkan edisi pemutakhiran Risalah BPUPK yang didasarkan murni dari Koleksi Yamin dan Koleksi Pringgodigdo dengan mengeyampingkan Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 karya Muhammad Yamin yang tidak autentik.
gandatmadi46@yahoo.com