Dengan laju pertambahan penduduk 3 juta orang dan jumlah populasi 265 juta jiwa pada tahun 2018 serta konversi lahan antara 50-100 ribu hektar pertahun, maka jika Indonesia tidak mampu meningkatkan produksi pangannya ke depan ketergantungan pada impor semakin tinggi bahkan kemungkinan bangsa ini masuk ke dalam perangkap pangan (food trap) akibat tersanderanya pemenuhan pangan dengan impor.
Pulau Jawa yang sekarang menyumbang sekitar 60% produksi padi nasional akan menghadapi dilema persaingan penggunaan lahan dengan berbagai sektor ekonomi lainnya seperti pembangunan infrastruktur, transportasi, industri dan perluasan kota dan pemukiman pada masa-masa mendatang. Di Pulau Jawa misalnya, konversi lahan sawah mencapai 61,57 persen atau 1 juta ha dalam sepuluh tahun atau rata-rata antara 50-100 ribu hektar per tahun. Kalau tidak ada inovasi teknologi budi daya padi yang memadai dengan tingkat laju konversi lahan, maka kehilangan hasil produksi yang dialami mencapai sekitar 0,25 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 0,16 juta ton beras per tahun.
Kementrian Pertanian siapkan Road Map” 20 Juta Hektar Lahan Kering dan Rawa untuk Pertanian
Beberapa ahli lingkup Kementerian Pertanian yang telah lama menangani lahan rawa mendukung keyakinan itu. Pertambahan jumlah penduduk sekitar 2 persen per tahun dan konversi lahan sawah ke non-pertanian yang cukup luas, menyebabkan ketergantungan Indonesia terhadap lahan sawah untuk mencukupi kebutuhan pangannya berada pada posisi kritis. Maka, potensi lahan rawa untuk pertanain seluas 14 juta Ha mendapat perhatian dari Menteri Pertanian untuk menyangga kebutuhan stok beras, dan kelebihan stoknya untuk diekspor.
Dari luas lahan rawa 14 juta Ha itu, yang telah dibuka dan dikembangkan hanya 6,77 juta Ha, diantaranya yang dibuka oleh pemerintah sekitar 3,77 juta Ha dan oleh masyarakat secara swadaya sekitar 3,0 juta Ha. Sebagian besar lahan rawa sisanya berupa hutan rawa dan rawa gambut yang berstatus sebagai Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK).
Para ahli meyakinkan Menteri Pertanian 2014 – 2019, Amran Sulaiman bahwa teknologi usahatani dan pengelolaan air untuk berbagai tipologi lahan rawa telah tersedia. Penggunaan teknologi inovatif pada lahan rawa yang dikelola oleh petani mampu meningkatkan produktivitas lahan dan sistem usahatani. Contoh keberhasilan dari penerapan teknologi inovatif itu di lahan petani ditunjukkan di dalam buku ini.
Kombinasi antara kearifan lokal dan teknologi introduksi menghasilkan teknologi usahatani yang lebih produktif dan lestari. Sebagian besar lahan rawa yang dibuka dan dikembangkan itu ditanami tanaman semusim (padi, palawija, sayuran) dan sisanya ditanami tanaman tahunan (karet, kelapa, kakao, jeruk, pisan dan aneka tanaman buah-buahan lainnya).
Berbeda dengan petani lahan sawah di pulau Jawa, petani lahan rawa menghadapi lebih banyak tantangan biofisik, teknik, sosial-ekonomi dan kelembagaan. Sebab itu, kegiatan dari program pengembangan lahan rawa bersifat spesifik berdasarkan berat-ringannya tanaman tersebut.
Program optimasi lahan rawa di provinsi/kabupaten sasaran yang sedang berlangsung menempatkan lahan rawa terlantar (tidur) sebagai prioritas dengan kegiatan utamanya adalah perbaikan dan perluasan jaringan tata air yang dilengkapi dengan pintu-pintu air untuk meningkatkan produktivitas lahan dan intensitas tanam.
Masalah teknik diatasi dengan pemberian bantuan benih varietas unggul, pupuk dan alat dan mesin pertanian, proporsional dengan tantangan yang dihadapi petani. Selanjutnya petani akan dibina untuk membentuk kelompok tani dan memajukannya secara bertahap dari kelompok tani pemula ke kelompok tani madya, dan kemudian ke kelompok tani utama.
Kelompok tani utamalah yang mampu mengembangkan agribisnis di lahan rawa, sebagai cikal bakal terbentuknya korporasi petani dalam bentuk badan usaha milik petani. Kementerian Pertanian menganggap lahan rawa sebagai “raksasa tidur” yang dibangkitkan dari tidurnya sejak pemerintah kolonial sampai pemerintahan dari rezim-rezim setelah kemerdekaan. Raksasa tidur ini berpeluang besar untuk dievaluasi oleh para peneliti dan akademisi lebih lanjut, agar pengembangannya tepat sasaran, efektif dan efisien.
diposting oleh gandatmadi46@yahoo.com