Populisme Ideal VS Populisme Pragmatis

Populisme Ideal

Populisme adalah sejumlah pendekatan politik yang dengan sengaja menyebut kepentingan “rakyat” yang sering kali dilawankan dengan kepentingan suatu kelompok yang disebut “elite“. Paham ini sering dihubungkan dengan sentimen anti-kemapanan dan anti-politik

Populisme mempunyai berbagai macam definisi, dan istilah ini sendiri berkembang pada abad ke-19 dan semenjak itu maknanya berubah-ubah. Di Eropa, tidak banyak politikus atau partai yang menggambarkan diri mereka sebagai “populis”.

Kerangka konsep yang populer dalam menafsirkan populisme dikenal sebagai pendekatan ideasional: Ini mendefinisikan populisme sebagai ideologi prosedural yang lentur (a thin-centered ideology) yang menegaskan pembelahan tajam antara “rakyat bermoral” dan “elit korup”, mereka yang kerap diasosiasikan sebagai kelompok penindas, tamak, selalu mementingkan diri sendiri, dan mengabaikan kehendak rakyat banyak.

Dengan kata lain, populisme lahir atas dasar persepsi rakyat biasa terhadap pengkhianatan elit atau sikap kontradiktif elit-elit politik yang berperilaku kontradiktif antara janji politik saat kampanye dan realisasinya pada saat berkuasa. Pendekatan ini memiliki tiga elemen dasar dalam populisme, yaitu rakyat, elit, dan kehendak rakyat yang terkhianati. Menurut pendekatan ideasional, populisme sering dikombinasikan dengan ideologi lain, seperti nasionalisme, liberalisme, atau sosialisme. Dengan demikian, populis dapat ditemukan di lokasi yang berbeda di sepanjang spektrum politik kanan kiri, dan ada populisme sayap kiri dan populisme sayap kanan.

Sebuah pendekatan yang dikaitkan dengan ilmuwan politik Ernesto Laclau melihat populisme sebagai kekuatan sosial emansipatoris di mana kelompok-kelompok marjinal menantang struktur kekuasaan dominan. Beberapa ekonom menggunakan istilah populisme berkaitan dengan sikap pemerintah yang melibatkan pengeluaran publik yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri, mengakibatkan hiperinflasi dan langkah-langkah darurat.

Rezim Pemerintahan populis

Populisme dalam kekuasaan, membedakan antara populis dalam pemerintahan dan populisme sebagai “pemerintah” (mengendalikan semua institusi kunci). Kami bertanya apakah logika otoriter populisme mendorong perubahan rezim demokrasi konstitusional. Kami berpendapat bahwa begitu mereka memasuki pemerintahan, politisi populis biasanya terlibat dalam perubahan rezim, dalam tiga tahap. Dalam pemerintahan, mereka memadukan politik demokratis dengan memperkenalkan praktik otoriter ke dalam kerangka institusi. Sebagai “pemerintah” mereka cenderung menciptakan campuran populis yang khas yang bukan merupakan rezim demokratis maupun otoriter. Rezim hibrida populis dapat berubah menjadi otoritarianisme penuh.

Kami akan menyebutnya kediktatoran populis untuk menunjukkan kesinambungannya dengan tipe-tipe sebelumnya, serta bentuk pembenaran diri diskursifnya. Setiap transisi menimbulkan masalah ambang batas (secara konseptual dan empiris) yang kami coba atasi. Kami terlibat secara kritis dengan literatur tentang demokrasi liberal, demokrasi delegatif, dan otoritarianisme kompetitif.

Populisme Pragmatis Politik Indonesia.

Penelitian Albert Triwibowo dari Institut für Politik- und Verwaltungswissenschaften, Universitas Rostock, bersama Jessica Martha dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan, yang terbit dalam “Jurnal Insignia Hubungan Internasional” pada November 2021 al menulis bahwa Jokowi dan Prabowo, masing-masing memperlihatkan penggunaan populisme sebagai strategi politik. Populisme yang sejatinya merupakan motif anti-elit, di tangan keduanya menjadi tidak konsisten. Pragmatisme kekuasaan atas klaim kerakyatan, berbeda dalam kenyataannya.

“Para pemimpin politik di Indonesia berusaha untuk maju serta mencari kompromi dan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk yang dicap elit oleh kaum populis itu sendiri,” tulis Triwibowo & Martha (2021).

Ketika pemimpin populis ideal menempatkan kebenciannya pada kelompok tertentu sebagai musuh, kaum pragmatis cenderung melakukan kompromi tanpa menargetkan kelompok tertentu. Ketika pemimpin populis ideal merepresentasikan diri sebagai bagian dari rakyat, populisme pragmatis berupaya berdiri di tengah, mengakomodir “rakyat” dan “elit”. Dalam karakteristik hubungan antara pemimpin dan orang yang diwakilinya, pemimpin pragmatis cenderung menggabungkan komunikasi langsung dan tidak langsung dengan menggunakan perantara.

Populisme Pragmatis pada Pemilu 2024?

Gagasan populisme sedianya menciptakan polarisasi antara “rakyat” dan “elit”, namun di Indonesia melahirkan antagonisme yang berbeda. Karakteristik strategi politik populis hanya dipergunakan secara pragmatis hanyalah untuk mengatasi kendala politik. Populisme pragmatis dimanfaatkan untuk menggalang dukungan lebih banyak, dan berkomunikasi dengan khalayak yang lebih luas. Namun, Triwibowo & Martha masih belum bisa menyimpulkan apakah populisme yang dipraktekkan di Indonesia merupakan populisme jenis baru.

Apakah populis ideal muncul dalam Pemilu 2024 berupa gerakan anti kemapanan?

Burhanuddin Muhtadi

“Populisme bisa muncul di banyak tempat, baik di masyarakat demokrasi atau non-demokrasi. Dalam kasus di Indonesia, termasuk di banyak negara, populisme itu memanfaatkan majoratianisme. Di Indonesia yang kebetulan mayoritas Islam, makanya populisme selalu berkelindan dengan politik identitas. Karena identitas mayoritas itulah yang dianggap pas dengan semangat mereka yang paling menyuarakan masyarakat banyak,” ungkapnya.

Ukuran populisme sendiri kata dia sangat liat. Karenanya, populisme bukan termasuk dari jalan yang wasathiyah atau moderat. Uniknya, populisme ini hampir tidak muncul di negara otoriter.

“Populisme seperti bunglon yang bisa berubah kulitnya menyesuaikan kondisi di mana dia berada. Kalau masyarakatnya kanan dia akan eksploitasi ideologi kanan, kalau masyarakatnya kiri dia akan sangat kiri, kalau masyarakatnya Islam dia akan menggali identitas Keislaman,” jelasnya.

Selain populisme membuat masyarakat tidak rasional, Burhanuddin juga menyebut bahwa populisme adalah penyakit bagi demokrasi karena kaum populis cenderung melakukan manipulasi narasi demi kepentingan politik elektoral sesaat.

Populisme juga hampir selalu bersifat eksklusif dan memiliki retorika yang sifatnya intoleran, rasis, dan xenopobia untuk mengeliminasi tudingan mereka terhadap kelompok-kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan agenda politik mereka.

Melihat kondisi yang terjadi, Burhanuddin berharap Muhammadiyah memimpin di depan untuk terus menyuarakan moderasi meskipun pendapat itu tidak populer karena mayoritas masyarakat telah tercebur dalam doktrin populisme.

di posting oleh gandatmadi46@yahoo.com

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *