Oleh Katharine McGregor, University of Melbourne
Diterbitkan Inside Indonesia pada 25 Maret 2024
Menurut warga setempat Om Nono Muma, sebagian besar penduduk di kota kecil Sawahlunto di Sumatera Barat adalah keturunan pendatang yang datang dari daerah lain di Indonesia, khususnya Jawa, untuk bekerja di tambang batu bara. Kota ini didirikan setelah ditemukannya deposit batubara yang signifikan oleh ahli geologi Belanda, WH de Greve. Meningkatnya permintaan batu bara global yang disebabkan oleh revolusi industri, menyebabkan pemerintah Belanda membuka tambang pertama di sini pada tahun 1891 untuk bahan bakar kapal dan kereta api negara kolonial. Tambang ini beroperasi selama lebih dari seratus tahun, berpindah dari kepemilikan Belanda ke Indonesia setelah revolusi Indonesia pada tahun 1949. Pada tahun 1998, penurunan harga global dan berkurangnya simpanan batubara menyebabkan penutupan Perusahaan Pertambangan Batubara Ombilin. Ada yang khawatir Sawahlunto akan menjadi kota hantu.
Pada tahun 2001 Walikota Amran Nur menyusun pernyataan visi dan misi baru untuk Sawahlunto yang berfokus pada pelestarian dan komodifikasi warisan pertambangan kota untuk menjadikannya tujuan wisata. Pemerintah setempat merestorasi bangunan era kolonial dan mendirikan museum baru. Delapan belas tahun kemudian, pada tahun 2019, UNESCO menganugerahkan status warisan dunia kepada wilayah Sawahlunto dan sekitarnya dengan nama resmi Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto. Ini termasuk kota Sawahlunto dan situs-situs penting yang berhubungan dengan sejarah pertambangan dan enam museum. Hal ini juga meluas ke fasilitas dan infrastruktur terkait jalur kereta api dan fasilitas penyimpanan batubara di Pelabuhan Emmahaven di Padang.
Melalui analisis narasi utama di salah satu museum yang terkait dengan peninggalan yang telah direnovasi, artikel ini menanyakan seperti apa pendekatan dekolonial terhadap sejarah kota pertambangan batu bara? Sejauh mana museum ini menantang atau mereproduksi wacana kolonial terkait industrialisasi serta ekstraksi sumber daya dan tenaga kerja?
Warisan kolonial teknologi maju
The Goedang Ransoem (Rations Warehouse) dibangun untuk memenuhi kebutuhan makanan , baik itu makanan utama ataupun makanan tambahan , pada tahun 1918 pihak manajemen tambang membangun sebuah komplek Dapur raksasa lengkap dengan sarana prasarana pendukungnya yang terdiri dari:
1.Bangunan utama dapur umum. 2 Deretan gudang (warehouse) persediaan bahan mentah serta gudang padi. 3.Dua bangunan steam generator (tungku pembakaran) buatan Jerman bertahun 1894 yang diproduksi oleh Rohrendampfkesselfabrik D.R.Patente.. 4.Cerobong asap (Menara). 5 Pabrik dan gudang es. 6. klinik (hospital) mini. 7. heuler (penggilingan padi). 8. Rumah kepala ransum. 9. Pos penjaga. 10.Rumah potong hewan dan Rumah hunian dr. kepala rumah potong hewan.
Museum Goedang Ransoem (Rations Warehouse Museum) dibuka pada tahun 2005. Situs ini terdiri dari beberapa bangunan yang berfungsi sebagai dapur pusat dari tahun 1918 hingga 1942, yang menyediakan makanan bagi para pekerja dari tambang dan rumah sakit setempat. Proses pembuatan museum ini melibatkan konsultasi masyarakat untuk mengetahui lebih banyak tentang bekas dapur, bagaimana fungsinya dan keberadaan banyak instrumen dan perlengkapan aslinya. Pencarian ini berujung pada ditemukannya benda-benda hilang termasuk tujuh panci masak raksasa yang kini berdiri di tengah museum.
Kisah-kisah yang dihasilkan dari kelompok fokus ini, seperti bagaimana topi penambang juga digunakan untuk mengumpulkan jatah keluarga, ditampilkan di museum. Mengingat persepsi umum bahwa museum adalah institusi top-down yang cenderung menyajikan narasi secara didaktik, keterlibatan masyarakat dalam museum ini merupakan hal yang baru.
Namun, isi museum mencerminkan tensi yang sedang berlangsung dalam praktik museum dan sehubungan dengan pedoman UNESCO, mengenai bagaimana warisan kolonial disajikan. Dalam dua puluh tahun terakhir di Indonesia telah terjadi renovasi besar-besaran terhadap warisan kolonial khususnya bangunan bergaya kolonial dan ‘kota tua’ di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang dan Malang dengan tujuan mengkomersialkan ruang-ruang tersebut untuk mempromosikan pariwisata. Dalam proses ini terdapat kecenderungan untuk menjunjung tinggi arsitektur kolonial dan merayakan perkembangan teknologi zaman Belanda.
Museum Goedang Ransoem cocok dengan pola yang lebih besar ini, terutama melalui perayaan penggunaan teknologi modern. Tungku uap berbahan bakar batu bara yang menggerakkan dapur digambarkan dalam panel museum dan buku panduan sebagai tungku yang ‘sangat modern pada saat dapur dibangun’ dan diimpor dari perusahaan Jerman, Senking. Sentimen kekaguman terhadap kemajuan kolonial dikomunikasikan melalui penekanan pada skala dapur ‘terbesar’ yang belum pernah terjadi sebelumnya di koloni Belanda di Hindia Timur. Sebuah brosur museum menyebutkan ‘bangunan mengesankan ini mampu menampung hingga 7.000 pekerja’. Melalui narasi-narasi tersebut direplikasi wacana kolonial Belanda yang membawa kemajuan dan modernitas ke Indonesia. Hasilnya adalah evaluasi positif terhadap dampak penjajahan.
Penekanan pada inovasi teknologi dan mesin industri juga sebagian didorong oleh status warisan dunia ‘industri’ Sawahlunto yang ditetapkan UNESCO. Salah satu alasan yang dikemukakan di situs UNSECO untuk memasukkan Sawahlunto ke dalam daftar adalah bahwa warisan budaya Sawahlunto menunjukkan ‘interaksi sosial dan budaya antara Timur dan Barat dan telah mengubah wilayah yang terisolasi menjadi serangkaian kota yang dinamis dan terintegrasi.’ Narasi mengenai Sawahlunto ini Transformasi Sawahlunto menghubungkan kolonialisme dengan membawa kemajuan ke daerah-daerah terpencil dan mereplikasi konsep orientalis tentang keterbelakangan Timur dan modernitas Barat.
Yang diabaikan dalam kerangka ini adalah degradasi lingkungan di lahan dan sungai tempat penambangan batu bara dilakukan dan hubungan antara batu bara dan perubahan iklim. Pada saat upaya global sedang dilakukan untuk meninggalkan batubara, perayaan warisan industri yang terkait dengan mineral ini mengalami disonansi yang sangat besar.
Eksploitasi tenaga kerja di era kolonial
Meskipun UNESCO mewajibkan museum baru di Sawahlunto menonjolkan warisan industri, pendekatan yang lebih kritis telah diambil terhadap praktik eksploitasi tenaga kerja di era kolonial. Di seberang Museum Goedang Ransoem terpampang serangkaian foto zaman kolonial. Foto-foto ini, yang sering diambil oleh pejabat kolonial dengan tujuan untuk menonjolkan kemajuan kolonial, memberikan gambaran sekilas tentang eksploitasi kolonial. Foto dapur massal tahun 1940, misalnya, menunjukkan anak-anak muda Indonesia sedang berjongkok di depan gambar sedang makan.
Mungkin kritik yang paling menantang dan memberatkan terhadap kolonialisme di museum muncul melalui diskusi tentang posisi orang dirantai atau narapidana. Ungkapan ini mengacu pada narapidana pekerja yang dipaksa bekerja dengan leher, tangan dan kaki dirantai agar mereka tidak dapat melarikan diri. Museum ini menampilkan plakat dari batu nisan para pekerja yang hanya menunjukkan nomor setiap tahanan yang meninggal.
Dijelaskan dalam keterangan yang menyertainya bahwa ‘angka-angka tersebut mencerminkan nomor tato yang dicantumkan di tubuh setiap tahanan oleh penjajah Belanda’. Judulnya menekankan perlakuan Belanda terhadap orang-orang ini sebagai hal yang ‘tidak manusiawi’, namun juga mencatat stigma yang berkepanjangan terhadap mereka ‘karena Belanda menggambarkan orang-orang ini sebagai penjahat atau menyimpang’.
Sikap masyarakat setempat terhadap narapidana pekerja telah berubah seiring berjalannya waktu. Plakat museum juga mencatat bahwa saat ini beberapa orang menganggap mereka sebagai ‘pahlawan di sektor pertambangan’ karena membantu membangun kota. Ada pula pertimbangan bahwa para pekerja ini bisa saja dipenjarakan oleh Belanda karena berbagai alasan termasuk motif politik.
Subyek dekolonial dan pendekatan dekolonial
Perhatian museum terhadap pekerja yang dirantai mengungkap sisi gelap kolonialisme: subjek yang seringkali tidak terlihat dan sangat subaltern: pekerja kolonial. Perhatian terhadap para pekerja ini dan kondisi di mana mereka bekerja untuk memenuhi permintaan produk ekspor dan membangun infrastruktur terkait sering kali tidak diprofilkan di situs warisan kolonial.
Dimasukkannya cerita orang-orang yang dirantai di situs warisan Sawahlunto dapat dikaitkan dengan penelitian rintisan Erwiza Erman (1999), yang sejarah sosial tambangnya pertama kali menarik perhatian para pekerja tersebut. Erman juga terlibat dalam pelestarian warisan kota. Narasi mengenai para pekerja ini secara kritis mengganggu narasi warisan industri kolonial sebagai sebuah kisah yang tidak bermasalah mengenai datangnya kemajuan dan modernitas di Indonesia.
Pada tahun 2013, sejarah sosial kota ini juga disorot dalam pameran sementara bertajuk ‘Stories from Ombilin’, yang berfokus pada sejarah lisan dan warisan takbenda seperti praktik budaya yang unik. Pameran ini menarik perhatian bagaimana migrasi terkait pekerjaan tambang menyebabkan terbentuknya komunitas multietnis di Sawahlunto. Para pekerja yang dirantai, misalnya, berlatar belakang Jawa, Batak, Sunda, Madura, Tionghoa, dan Minangkabau. Hal ini menyebabkan berkembangnya bahasa baru yang disebut bahasa tangsi, bahasa barak, sehingga para pekerja dapat lebih mudah berkomunikasi.
Dengan menarik perhatian pada aspek-aspek pembentukan budaya ini, kurator museum telah mengambil pendekatan sejarah yang lebih berpusat pada komunitas yang menceritakan kisah-kisah tentang adaptasi dan ketahanan lokal terhadap pemerintahan kolonial dan perpindahan, daripada memfokuskan narasi pada agensi dan perubahan Belanda. Ini adalah aspek dekolonial penting lainnya dari museum.
Secara keseluruhan, Museum Goedang Ransoem menunjukkan beberapa arah menarik yang mungkin diambil oleh museum-museum di Indonesia di masa depan untuk mengevaluasi sejarah kolonial secara lebih kritis, dan mengedepankan perspektif dan sejarah lokal, daripada cenderung menceritakan sejarah dari atas. Pendekatan dekolonial terhadap sejarah juga memerlukan evaluasi kritis terhadap perayaan warisan industri dan teknologi yang diperkenalkan secara kolonial sebagai hal yang setara dengan kemajuan dan pembangunan, terutama mengingat kesadaran baru tentang hubungan antara industrialisasi dan perubahan iklim.